NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM
NILAI-NILAI
DASAR EKONOMI ISLAM
OLEH
AL MUNAWIR 1601104010001
ICHWANUL HAKIM 1601104010004
ABDUL HADI PANGGAR BESSY 1401104010008
MAKHRAJ BAITURRAHMAN 1401104010012
JURUSAN
EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
SYIAH KUALA
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin segala
puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa Allah
limpahkan kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam” guna memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam penulisan makalah ini,
tentunya masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasannya
pengetahuan penulis. Oleh karena itu dalam rangka melengkapi kesempurnaan dari
penulisan makalah ini, diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat
membangun.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, serta dukungan
dari berbagai pihak, baik secara moral maupun materil. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada:
1. Bapak
DR.Ridwan Nurdin,SE.,MA selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Ekonomi dalam Al-qur’an
dan Hadist Universitas Syiah Kuala
2. Orang
tua, saudara-saudara, sahabat-sahabat, dan seluruh teman yang selalu memberikan masukan, dorongan, dan
bantuan yang tak ternilai harganya.
Banda Aceh, 02 November
2017
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................................ 1
1.3
Tujuan.......................................................................................................................... 1
BAB II NILAI-NILAI
DASAR EKONOMI ISLAM.................................................. 1
A. Pengertian Ekonomi Islam........................................................................................... 2
B. Hakikat dan Dasar Ekonomi Islam.............................................................................. 3
C. Hadist tentang Nilai Dasar Ekonomi Islam................................................................. 4
D. Nilai-nilai Dasar dalam Ekonomi Islam....................................................................... 5
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 16
4.1 Simpulan.................................................................................................................... 16
4.2 Saran ......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekonomi
Islam adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an dan
Hadist yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi. Ekonomi Islam didasari oleh
prinsip-prinsip syari’ah Islam yang berorientasi pada kehidupan dunia maupun
akhirat. Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan syari’ah dalam perilaku
ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi.
Ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi
syari’ah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi
syari’ah dan sistem ekonomi syari’ah bukan untuk meyaingi sistem ekonomi
kapitalisme atau sistem sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu
sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi
kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa saja Pengertian ekonomi Islam ?
2. Bagaimana Hakikat dan dasar ekonomi Islam ?
3. Apa saja Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam ?
4. Bagaimana Nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam ?
1. Apa saja Pengertian ekonomi Islam ?
2. Bagaimana Hakikat dan dasar ekonomi Islam ?
3. Apa saja Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam ?
4. Bagaimana Nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian ekonomi Islam
2. Mengetahui Hakikat dan dasar ekonomi Islam
3. Mengetahui Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam
4. Mengetahui Nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam
1. Mengetahui Pengertian ekonomi Islam
2. Mengetahui Hakikat dan dasar ekonomi Islam
3. Mengetahui Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam
4. Mengetahui Nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam
BAB II
NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM
A.
Pengertian
Ekonomi Islam
Istilah ekonomi dari bahasa yunani Kuno
(Greek) yaitu oicos dan nomos yang berarti rumah dan aturan
(mengatur urusan rumah tangga). Menurut istilah konvensional, ekonomi berarti
aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah
tangga, baik dalam rumah tangga rakyat (volkshuishoulding)
maupun dalam rumh tangga negara (staatshuishouding).
Para pakar ekonomi mendefinisikan ekonomi sebagai suatu usaha untuk mendapatkan
dan mengatur harta baik materiel maupun non-materiel dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif, yang menyangkut
perolehan, pendistribusian ataupun pengguanaan utuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ekonomi juga diartikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam
hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langaka untuk
memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk
dikonsumsi.
Dalam bahasa Arab, ekonomi dinamakan
al-mu’amalah al-maddiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan
manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Disebut juga al-iqtishad, yaitu pengaturan
soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya.
Secara istilah, pengertian ekonomi Islam dikemukakan dengan redaksi yang
beragam di kalangan para pakar ekonomi Islam. Menurut Mohammad Nejatullah
Siddiq, ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikiran Muslim terhadap
tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, akal pikiran, dan pengalaman. M. Abdul Mannan
mendefinisikan ekonomi Islam dengan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami dengan nilai-nilai Islam. Definisi
yang hampir sama dikemukakan oleh M.M. Metwally bahwa ekonomi Islam adalah ilmu
yang mempelajari perilaku Muslim (orang yang beriman) dalam suatu masyarakat
Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi, ijma, dan qiyas.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, ekonomi Islam
adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari
Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas
dari syari’at Allah.
Khurshid Ahmad mendefinisikan ekonomi Islam
dengan suatu usaha sistematis untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku
manusia dalam hubungannya kepada persoalan tersebut menurut perspektif Islam.
Syed Nawab Haider Naqvi memahami ekonomi Islam dalam perspektif sosiologi yang mempelajari perilaku manusia dalam
perkonomian di segala aspek kehidupan dengan corak yang khas. Bagi Naqvi, ekonomi
Islam lebih ditekankan sebagai sains yang bertugas menyibak permasalahan
manusia dalam sebuah masyarakat Muslim dengan pola dan corak hidup yang
tipikal. Ia menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah perwakilan perilaku kaum Muslimin
dalam suatu masyarakat Muslim tipikal atau khas. Louis Cantori, sebagaimana
dikutip oleh M. Umer chapra, menyatakan bahwa ekonomi Islam pada hakikatnya
adalah suatu upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang berorientasi
kepada manusia dan masyarakat yang tidak mengakui individualisme yang
berlebih-lebihan sebagaimana dalam ekonomi klasik.
Menurut S.M. Hasanuzzaman, ilmu ekonomi
Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang
mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya materiel sehingga
tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan
mengikuti aturan masyarakat. Adapun M. Umer Chapra mendefinisikan ekonomi Islam
dengan cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia
melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama
dengan maqashid, tanpa mengekang
kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan
masyarakat.
Secara garis besar, pembahasan ekonomi
mencakup tiga hal, yaitu ekonomi sebagai usaha hidup dan pencaharian manusia (economical life), ekonomi dalam rencana
suatu pemerintahan ( politycal economy),
dan ekonomi dalam teori dan pengetahuan (economical
science). Ekonomi dipandang pula
sebagai sesuatu yang berkenan dengan kebutuhan manusia dan sarana-sarana
pemenuhannya yang berkenaan dengan produksi barang dan jasa sebagai sarana
pemuas kebutuhan. Dengan kata lain, kebutuhan dan sarana-sarana pemuasnya
dikaji secara tak terpisah satu dengan yang lain karena keduanya saling berkaitan
secara sinergis; pembahasan distribusi barang dan jasa menjadi satu dengan pembahasan
produksi barang dan jasa.
B.
HAKIKAT
DAN DASAR EKONOMI ISLAM
Asumsi dasar atau norma pokok dalam
proses maupun interaksi kegiatan ekonomi adalah syariat Islam yang diberlakukan secara menyeluruh (kaffah atau totalitas) baik terhadap individu, keluarga,
masyarakat, pengusaha, atau pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hidup baik
untuk keperluan jasmani maupun rohani. Jika diperhatikan beberapa definisi di
atas terlihat bahwa prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan
manfaat dengan tetap menjaga kelestarian linkungan alam. Motif ekonomi Islam
adalah mencari keberuntungan di dunia dan akhirat oleh manusia selaku khalifah
Allah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas (‘ibadah ghayr mahdhah).
Menurut M. Umer Chapra, syariat Islam,
sebagaimana terlihat pada maqashid
al-syari’ah, mencakup segala hal yang diperlukan untuk merealisasikan
keberuntungan (falah) dan kehidupan
yang baik (hayah thayyibah) dalam
bingakai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan keyakinan (faith), jiwa atau kehidupan (soul/life), akal pikiran (intellect), keturunan (posterity), dan harta kekayaan (wealth). Syari’at Islam meletakkan
hubungan manusia pada tempat yang selayaknya, menjadikan manusia mampu
berinteraksi satu dengan yang lain secara seimbang dan saling menguntungakan.
Syariah juga memberiakan filter moral untuk alokasi dan distribusi sumber daya
sesuai dengan konsep persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, serta sistem
yang memotivasi kekuatan untuk mencapai tujuan berupa pemenuhan kebutuhan
dengan kesetaraan distribusi penghasilan dan harta kekayaan.
Menurut Rasulullah, suatu usaha untuk
mendapatkan, mendistribusikan, dan mengatur harta harus dilakukan secara benar
dan diperlukan keahlian memadai untuk melakukannya. Berkenaan dengan
pengelolaan harta dan pemanfaatan ilmu, Nabi pernah menyatakan bahwa seseorang
tidak boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu bagi orang yang mendistribusikan
harta nya dengan benar dan orang yang mengamalkan ilmu dan mengajarkannya. Rasulullah
besabda:
عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ يَقُوْلُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ
رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي كِهَا وَيُعَلِّمُهَا(رَوَاهُ الْبُخَارِيُ)
Dari Ibn Mas’ud
r.a., katanya, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: :Tidak boleh iri kecuali
dalam dua perkara, yaitu (kepada) orang yang diberi harta oleh Allah lalu ia
menggunakan (menghabiskan)-nya dalam kebenaran dan orang yang diberi hikmah
(ilmu) oleh Allah kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya”.
Sebagaimana ekonomi konvensional,
ekonomi Islam juga membicarakan tentang aktivitas manusia dalam mendapatkan dan
memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif, yang
menyangkut perolehan, pendistribusian ataupun penggunaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Hanya saja, dalam ekonomi Islam, segala aktivitas
ekonomi tersebut harus didasarkan pada norma dan tata aturan ajaran Islam yang
terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, ijma’, qiyas,
dan sebagainya.
Di sinilah letak hakikat ekonomi Islam
yang terlihat pada ciri khasnya yang berdasar pada sumber-sumber ajaran Islam
tersebut serta maqashid al-syariah
umumnya yang bertujuan merealisasikan kesejahteraan manusia dengan
terealisasinya keberuntungan (falah)
dan kehidupan yang baik (hayah thayyibah)
dalam bingakai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan keyakinan, jiwa,
atau kehidupan, akal pikiran, keturunan, dan harta kekayaan melalui suatu
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, menciptakan keseimbangan
makroekonomi dan ekologi, memperkuat solidaritas keluarga dan sosial serta
jaringan masyarakat, dan menciptakan keadilan terutama dalam distribusi.
Al-Qur’an merupakan petunjuk yang tidak
diragukan kebenarannya bagi umat Islam dalam mengatur kehidupan mereka di
dunia, termasuk bidang ekonomi. Allah berfirman:
Artinya: “itulah kitab (Al-Qur’an) yang tidak diragukan di dalamnya (terdapat)
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (QS.2/al-baqarah:2)
Aktivitas ekonomi diatur dalam
Al-Qur’an, misalnya tentang jual beli (perdagangan) yang harus dilakukan secara
suka sama suka, tidak boleh dengan cara yang batil termasuk intimidasi,
eksploitasi, dan pemaksaan. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا
تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, janagnlah kamu saling makan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah itu Maha Kasih penyayang kepada mu. (Q.S. 4/an-Nisa:29).
Sunnah atau Hadist Nabi merupakan sumber
ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang memerintahkan kaum Muslimin agar
mengikuti perilaku Nabi SAW, yang menjadi teladan, dan sebagai penjelas
ayat-ayat Al-Qur’an baik melalui sabda-sabda, perbuatan, sikap, maupun
perilakunya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat Islam menaati Allah dan
mengikuti Rasulullah serta larangan berpaling darinya. Misalnya surah al-Anfal:20: Yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu
mendengar (perintah-perintah-Nya)”.
Sebagaimana dipraktikkan pada masa Nabi
dan masa-masa berikutnya, umat Islam mempunyai konsep ekonomi yang khas jika
dibandingkan dengan konsep ekonomi lain baik kapitalis maupun sosialis.
Meskipun Rasulullah tidak diutus sebagai ahli ekonomi, tetapi sebagai Rasul
dalam rangka untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, bidang ekonomi juga
tersentuh oleh ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sebagaimana bidang-bidang lain;
akidah, ibadag, etika, sosial, kenegaraan, dan hukum. Rasulullah pernah
menyatakan bahwa dirinya telah meninggalkan dua hal yang jika umat Islam
mengikutinya, tidak akan pernah sesat selamanya. Ia besabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى
رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ
بَيْعِ الْغَرَرِ
“Aku
tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang pada keduanya,
niscahya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnah
Rasulnya."(HR. Al. Hakim an naisaburi).
Dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi terdapat banyak
ajaran yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Berdasar ajaran dalam kedua sumber
tersebut, para ulama berijtihad menetapkan hukum dan konsep tentang ekonomi
sehingga muncullah aturan-aturan berkenaan dengan bidang tersebut, seperti fiqh
muamalah dan al-iqtishad fi al-Islam (ekonomi
Islam).
Disamping Al-Qur’an dan Sunnah, sumber inspirasi
ekonomi Islam adalah ijma’. Ijma’ merupakan
kesepakatan semua mujtahid umat Muhammad SAW dalam satu masa setelah beliau
wafat tentang hukum syara’. Keberadaan ijma’
menjadi solusi pemecahan persoalan yang dihadapi umat Muslim termasuk dalam
bidang ekonomi karena dengan kesepakatan itu, perpecahan pendapat dapat
dihindari dan umat Muslim tinggal melaksanakan hasil kesepakatan tersebut.
Karena itu, ijma’ merupakan faktor
paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktik rumit kaum Muslimin pada
suatu masa tertentu dan memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi.
Di kalangan umat Islam, jika suatu persoalan
tidak secara tegas diselesaikan dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’, maka mereka menyelesaikannya
dengan qiyas atau metode metode
ijtihad lain. Qiyas pada satu sisi
menjadi sumber Islam dan pada sisi yang lain sebagai metode penetapan hukum
Islam. Qiyas dapat didefinisikan
dengan pemindahan hukum yang terdapat pada ashl
kepada furu’ atas dasar ‘illat yang tidak dapat diketahui dengan
logika bahasa. Qiyas ini sering pula
dikaitkan dengan ijtihad, yaitu upaya mencurahkan segala daya kemampuan untuk
menghasilkan hukum syara’ dari
dalil-dalil syara’ secara terperinci
yang bersifat operasional dengan cara istinbath
untuk mencapai kesimpulan hukum. Qiyas berperan
dalam memperluas hukum ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadist Nabi kepada soal-soal
yang tidak termasuk dalam ketentuan keduanya secara eksplisit dengan adanya
persamaan alasan atau sebab efektif yang disebut ‘illat yang terdapat pada dua peristiwa yang dianalogkan.
Di samping keempat sumber tersebut, ‘urf
merupakan salah satu sumber inspirasi nilai-nilai ekonomi Islam. ‘urf
dapat diartikan dengan sesuatu yang diketahui dan dilakukan orang atau
sesuatu yang bisa dilakukan masyarakat Muslim yang telah terinternalisasi dalam
bentuk adat istiadat baik berupa perkataan, sikap, perbuatan, atau lainnya.
Demikian halnya istihsan dapat
menjadi pertimbangan untuk menelusuri nilai-nilai ekonomi Islam dengan cara
mendahulukan qiyas khafi (yang
tersembunyi) dari qiyas jali (jelas)
atau dari hukum kulli (umum/global) kepada
hukum istitsna’i ( pengecualian).
Metode lain yang dapat digunakan untuk menggali
nilai atau hukum ekonomi Islam adalah dengan istishhab, yaitu dengan cara menetapkan suatu nilai atau hukum
tertentu sampai sesuai keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil yang
mengubah keadaan itu atau menjadikan hukum atau nilai yang ada di masa lalu
tetap di pakai sampai sekarang sampai ada dalil yang mengubahnya. Di samping
itu, nilai-nilai dan hukum ekonomi Islam dapat ditelusuri melalui metode mashlahah al- mursalah yang berupa
kemashlahatan yang tidak disyariatkan oleh Allah dalam wujud hukum nash dalam
rangka menciptakan kemashlahatan manusia. Nilai-nilai bidang ekonomi banyak
yang sebagian tidak tersentuh nash dapat ditetapkan melalui mashlahah ini.
Dengan demikian, ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan
dari faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu Al-Qur’an, Hadist, ijma’, qiyas, dan sebagainya. Karena
itu, konsep, sistem, dan nilai dasar ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari
berbagai dasar tersebut.
C.
HADIS TENTANG NILAI EKONOMI ISLAM
Nilai-nilai
dasar ekonomi antara lain dijelaskan dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khdzri yang menjelaskan tentang pedagang yang jujur dan terpecaya
dalam melakukan aktivitas ekonomi sehingga tidak melakukan penipuan kepada
pembeli ataupun orang lain. Kejujuran merupakan integritas pribadi yang harus
dimiliki oleh setiap muslim, termasuk pebisnis dan pengusaha, karena dengan
kejujuran segala aktivitas ekonomi akan berjalan dengan lancar tanpa ada pihak-pihak
yang dirugikan. Pedagang yang jujur di samping akan mendapatkan laba dan
kehidupan yang berkah di dunia, di akhirat mereka akan bersama para
nabi,orang-orang jujur,dan orang-orang yang mati syahid. Nabi SAW Bersabda :
“ Pedagang yang jujur lagi terpecaya akan
bersama dengan para nabi, para sadiqin, dan para syuhada pada hari kiamat nanti
“.
(HR. Ahmad)
Dalam hadis di atas terdapat nilai-nilai dasar ekonomi, yaitu
kejujuran (al-shidq), transparasi dan
amanah (al-amanah), ketuhanan (al-tauhid), kenabian (al-nubuwwah), serta pertanggung jawaban
(ma’ad, yaum qiyamah). Nilai-nilai
ini selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, kejujuran.
Kejujuran merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk
dalam bidang ekonomi. Dengan aktivitas ekonomi yang dilandasi dengan kejujuran,
manusia akan saling mempercayai dan terhindar dari penipuan. Manusia akan
merasa tenang dan tentram dalam kehidupannya tanpa ada rasa was-was, disebabkan
kekhawatiran hak-haknya diambil orang
lain. Kejujuran dapat membawa kepada kabaikan dan kebaikan dapat membawa pada
surga.
Orang yang selalu berbuat jujur, niscaya hidupnya selalu diliputi
dengan sikap dan perilaku baik karena ia tidak menipu dirinya ataupun orang
lain. Orang yang senantiasa jujur dalam kehidupannya akan ditetapkan oleh Allah
sebagai orang yang jujur. Demikian sebaliknya, kebohongan membawa kepada
keburukan. Orang yang selalu berbuat bohong akan membohongi dirinya dan orang
lain, meskipun melakukan keburukan ia akan tetap merasa benar sehingga tidak
menyesal dan terus menerus melakukannya.
Rasulullah melarang segala bentuk aktivitas ekonomi dalam bentuk
penipuan karena penipuan dapat merugikan orang lain. Penipuan dapat merugikan
orang lain dan melanggar hak asasi jual-beli, yaitu suka sama suka. Jual beli
yang mengandung penipuan adalah jual beli yang tidak diketahui hasilnya, atau
tidak bisa diserah-terimakan, atau tidak diketahui hakekat dan kadarnya,
misalnya jual-beli burung yng masih terbang di angkasa, jual-beli binatang yang
masih dalam kandungan. Nabi SAW Bersabda :
“
Dari Abu Hurairah r.a, berkata , “ Rasulullah melarang jual-beli dengan cara
melempar dan jual-beli yang mengandung penipuan”.
(HR. Muslim)
Kedua,
amanah. Kejujuran dan amanah mempunyai hubungan yang sangat erat karena orang
yang selalu jujur pastilah amanah. Perbedaannya, kejujuran bermula dari dalam
diri si pelaku, sedangkan amanah berdasar kepercayaan orang lain yang diberikan
kepada orang lain. Allah memerintahkan agar umat Islam menunaikan amanat kepada
orang yang berhak menerimanya dan jika memutuskan perkara agar dilakukan secara
adil, sebagaimana firmannya :
“Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menunaikan amanatkepada
orang yang berhak menerimanya dan apabila kalian memutuskan hukum diantara
manusia maka putuskanlah dengan adil”. (QS. An-nisa : 58)
Bersikap dan berperilaku amanah sangatlah dianjurkan oleh Islam dan
orang yang tidak amanah disebut penghianat, termasuk salah satu ciri orang
munafik. Pengkhianatan merupakan perbuatan yang sangat keji, tidak hanya
berakibat fatal pada orang per orang tetapi pada suatu bangsa dan negara.
Ketiga, ketuhanan. Konsep
ketuhanan dalam ekonomi Islam secara sederhana dapat digambarkan bahwa tujuan
Allah menciptakan manusia di muka bumi tidak lain adalah untuk beribadah
kepadanya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surah adz-dzariyat ayat 56 :
“Dan
aku tidak menciptakanjin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah)
kepada-ku.”
Seluruh aktivitas manusia dilakukan dalam rangka untuk mengabdi kepada
Allah baik aktivitas ibadah mahdah seperti puasa, zakat, haji, zikir dan
sebagainya dan ibadah gairu mahdah seperti kegiatan kita sehari-hari umat Islam
sebagaimana yang dilakukan dengan niat untuk ibadah kepada Allah.
Rasulullah pernah ditanya tentang suatu aktivitas yang membuat
seseorang dekat dengan surga dan jauh dari neraka. Ia menjawab bahwa jika
seseorang ingin dekat dengan surga dan jauh dari neraka, maka hendaklah ia
menyembah kepada Allah dan tidak menyukutannya, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan menyambung tali silaturahmi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
Hadis riwayat Muslim berikut :
“Tunjukkanlah
kepadaku tentang perbuatan yang dapat mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku
ke neraka”. Nabi bersabda,”Kamu sembah Allah dan jangan sekutukan dengan
sesuatuapa pun, dirikan shalat, tunaikan zakat, dan sambunglah tali
persaudaraanmu.” Ketika laki-laki itu pergi Nabi bersabda,”Jika ia berpegang
pada apa yang diperintahkan kepadanyan maka ia akan masuk surga”. (HS.Muslim)
Ketiga, kenabian. Ada
beberapa model perilaku ekonomi yang dicontohkan Nabi misalnya menjual barang
yang benar, melakukan gadai, berserikat dalam bisnis, dan sebagainyajuga
pandangan Nabi tentang dan kekayaan. Nabi melarang umat Islam melakukan
jual-beli dengan cara menipu. Segala kegiatan di bolehkan selama tidak ada
mengandung unsur penipuan yang dapat merugikan orang lain.
Rasulullah memandan harta dan kekayaan bukan sebagai tujuan hidup
tetapi sekedar sebagai sarana untuk hidup. Kekayaan sesungguhnya bukan untuk mencapai
kepuasan secara material saja sebagaimana dimaksudkan dalam ekonomi
konvensional karena secara kodrat manusia tidak akan pernah puas berkaitan
dengan materi itu. Kekayaan menurut Rasulullah adalah kekayaan jiwa karena jika
seseorang kaya jiwanya, maka akan berlapang dada meskipun tidak ada sepeser pun
uang dalam genggamannya, jika ia mempunyai harta meskipun sedikit akan
diberikannya sebagian kepada orang lain yang membutuhkan. Rasulullah bersabda :
“Yang
disebut kaya bukanlah karena banyaknya harta benda tetapi yang disebut kaya
adalah yang kaya jiwanya”. (HR.Muslim)
Kelima, pertanggung jawaban.
Segala aktivitas ekonomi hendaklah dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab muncul karena manusia adalah makhluk yang mukallaf, yaitu
makhluk yang diberi beban hukum berbeda dengan makhluk lain seperti binatang
dan tumbuhan. Karena taklif itulah, manusia harus mempertanggungjawabkan segala
aktivitasnya dank arena itu pula ia oleh Rasulullah disebutkan sebagai
pemimpin. Setiap manusia muslim yang dewasa, akil dan baligh serta mumayyiz
adalah pemimpin dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu.
Menurut Rasulullah, seseorang suami yang bekerja bertanggung jawab
untuk memberi nafkah kepada istri dan
anaknya. Demikian pula istri diperbolehkan mendistribusikan sebagian harta
suaminya kepada orang lain dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan. Masing
dapat pahala dan bertanggung jawab untuk itu. Rasulullah bersabda :
”Jika
seoarang perempuan menafkankan sebagian makanan dirumahnya tanpa menimbulkan
kerusakan, maka ia mendapatkan pahala dari apa yang ia nafkahkannya dan
suaminya juga mendapatkan pahala dari uasaha bekerjanya, dan seorang penjaga
juga mendapatkan seperti itu, sebagian mereka tidak mengurangi pahala sebagian
yang lain”. ( HR.Al-Bukhari).
D.
NILAI-NILAI DASAR DALAM EKONOMI ISLAM
Nilai dasar ekonomi Islam berbeda dengan nilai dasar ekonomi
kapitalis dan sosialis. Ekonomi kapitalis berdasar pada laisez-faire (kebebasan mutlak) sebagai ideology dasarnya. Nilai
dasar tersebut kemudian membentuk nilai-nilai dasare masyarakat kapitalis yang
berupa kepimilikan pribadi, motif mencari laba, dan persaingan bebas. Pada masa
modern, nilai dasar ekonomi kapitalis yang dikembangkan adalah penumoukan
modal, penciptaan kekayaan, ekspansi. Nilai dasar ekonomi kapitlais didasarkan
pada pandangan Adam Smith. Sedangkan ekonomi sosialis didasarkan pada konsep
sosialisme Karl Marx sebagai antitetis dari konsep kapitalisme yang menyatakan
bahwa produksi yang berlebihan,tingkat konsumsi yang rendah, disproporsi,
eksploitasi, dan alineasi yang dialami kaum buruh dapat menciptakan suatu
kondisi yang memaksa terjadinya revolusi social untuk menumbangkan kapitalis.
Nilai dasar ekonomi sosialis yang membatasi kepemilikan pribadi yang sangat
ketat dapat melanggar hak asasi dan dapat menghalangi terjadinya kreativitas
dan produktivitas yang sehat.
Berbeda dengan ekonomi Islam yang dimana sejak awal merupakan
formulasi yang didasarkan atas pandangan Islam tentang hidup dan kehidupan yang
mencakup segala hal yang diperlukan untuk merealisasikan keberuntukan dan
kehidupan yang baik dalam binhkai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan
keyakinan, jiwa atau kehidupan, akal atau pikiran, keturunan dan harta
kekayaan.
Ekonomi Islam didasarkan pada nilai-nilai luhur yang ditemukan dalam
sumber-sumber ajaran islam seperti ayat-ayat Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan qiyas. Dari sumber ini, kita bisa memperoleh nilai-nilai dasar
ekonomi Islam, termasu nilai-nilai moralitas seperti menyeru manusia kepada
kebenaran dan kebaikan, kesabaran dan akhlak, serta mencegah mereka dari
kepalsuan dan kemungkaran. Demikian pula, islam menyuruh mereka membantu orang
miskin dan mekarang mereka berbuat
zalim, melanggar hak orang lain dan menumpukkan harta secara tidak halal.
Dikalangan ilmuwan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang
nilai-nilai dasar itu, meskipun sesungguhnya mereka mengarah pada muara yang
sama. Menurut Adiwarman Karim ada lima dasar ekonomi Islam, yaitu keimanan,
keadilan, kenabian, pemerintahan dan kembali/hasil. Kelima nilai dasar
inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam.
Menurut kurshid Ahamad, niali-nilai dasar ekonomi Islam dan sekaligus sebagai
landasan filosofis untuk pengembangan ekonomi islam adalah tauhid, khilafah, dan tazkiyyah. Selanjutnya nilai-nilai dasar
ekonomi Islam dijelaskan sebagai berikut:
1.
Ketuhanan
(Keimanan/Tauhid)
Konsep ketuhanan atau tauhid, dalam
ajaran Islam ada dua, yaitu tauhid rububiyyah
dan tuhid uluhiyyah. Tauhid rububiyyah berkenaan dengan Allah
sebagai Tuhan, pencipta, dan pengatur alam semesta. Kata rububiyyah berasal dari kata rabb
yang berarti menciptakan, memelihara, dan mengatur. Kata rabb, sesuai makna linguistic Arab,
lebih mengarah pada makna kepemilikan dan penguasaan sehingga tauhin rububiyyah diartikan sebagai kepercayaan tentang keesaan
Tuhan dalam hal sebagai pencipta, pemilik dan penguasa alam. Menurut Muhammad
Syahryr, tauhin rububiyyah merupakan
realitas objektif di luar kesadaran manusia, relasi antara Allah dan seluruh
makhluk-nya berupa relasi penguasaan, pengaturan, dan pemilikan, sebuah relasi
paten dan tidak akan pernah berubah.
Alam semesta diciptakan oleh Allah dan
bukan ada dengan sendirinya. Allah-lah yang menciptakan dan mengatur segala
yang ada di langit dan di bumi, yang diperuntukkan bagi kehidupan umat manusia.
Sebagai bentuk dan manifestasi rasa
syukur atas segala karunia Allah yang diberikan kepada manusia yang ada di muka
bumi, maka manusia melakukan peribadatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain, Allah sang pencipta dan pengatur alam semesta adalahsatu –
satunya tuhan yang disembah sebagai wujud terima kasih manusia atas segala
nikmat yang diberikan-Nya. Konsep inilah yang dikenal dengan tauhid uluhiyyah yang berarti mengesakan Allah,
tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya. Tauhid uluhiyyah berkenaan dengan kewajiban manusia untuk menyembah hanya
kepada Allah sebagaimana dimaksudkan dalam surah al-dzariyat ayat 56: “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah)
kepada-Ku”.
Baik tauhid uluhiyyah maupun tauhid rububiyyah
yang menjadi fondasi keberagaman umat Islam telah berpengaruh terhadap setiap
sendi-sendi kehidupan mereka; dibidang ibadah, akhlak, social, politik, budaya,
hukum, termasuk juga bidang ekonomi. John L. Esposito menyatakan bahwa
monoteisme Islam yang mutlak dijaga dalam doktrin keesaan (tawhid) dan
kedaulatan (rabb, penguasaan,
pengasuh) Tuhan yang mendominasi akidah dan praktik Islam.
Nilai dasar ekonomi yang berfalsafah
tauhid terlihat antara lain pada konsep kepemilikan (ownership) dan
keseimbangan (equilibrium). Konsepkepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam
terletak pada pemanfaatannya bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber –
sumber ekonomi, berbeda dengan konsep kapitalis di mana terdapat kepemilikan
mutlak individu terhadap sumber ekonomi.
Manusia hanya memiliki hak manfaat dari
sumber – sumber ekonomi. Menurut Islam, harta tidak lebih dari sekedar karunia
Allah yang dititipkan kepada manusia. Manusia hanyalah makhluk yang menjadi
pengelola harta tersebut dan bukan
memilikinya secara penuh. Pada harta titipan tersebut ada hak orang lain yang
harus diberikan. Harta tidak lebih dari ujian apakah pemilik nya dapat
mensyukuri atau tidak.
Kepemilikan tersebut terbatas sepanjang
usia hidup manusia di dunia dan bila orang itu meninggal dunia, maka harus
didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan islam.
Nilai – nilai dasar ekonomi Islam yang
berkaitan dengan kepemilikan dan aktivitas ekonomi adalah: pertama, kebebasan individu, yaitu setiap individu mempunyai
kebebasan untuk membuat keputusan yang dianggap perlu karna tanpa kebebasan,
individu Muslim tidak dapat memenuhi kewajiban agama dan Negara, termasuk yang
berkaitan dengan kegiatan ekonomi demi kesejahteraan pribadi dan keluarga nya
asalkan tidak merugikan orang lain. Kedua,
ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar. Islam mengakui ketidaksamaan
ekonomi antar per orang, namun tidak membiarkannya menjadi bertambah luas
melainkan berusaha agar kesenjangan itu dalam batas yang wajar. Ketiga, kesamaan social. Islam mengakui
adanya ketidaksamaan dalam bidang ekonomi tetapi mendukung adanya kesamaan
social sehingga kekayaan Negara tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang
tertentu. Keempat, adanya jaminan
social. Menurut Islam, setiap individu mempunyai hak hidup dan setiap warga
Negara dijamin mendapatkan kebutuhan pokoknya. Kelima, distribusi kekayaan secara meluas. System ekonomi Islam
melarang penumpukan harta kekayaan pada kelompok kecil tertentu melainkan harus
didistribusikan secara luas kepada orang – orang yang berhak menerimanya. Keenam, larangan menimbun harta
kekayaan. Islam mencegah praktik penimbunan kekayaan atau komoditas dengan
maksud agar tidak terjadi kelangkaan barang dan menghindari kenaikannya untuk
kepentingan pribadi pemilikinya. Ketujuh,
adanya kesejahteraan bersma. Islam mengakui kesejahteraan individu dan
masyarakat secara bersama dan saling melengkapi bukan salingg bertentangan antar
keduanya.
Sumber daya alam dan kekayaan merupakan
amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya dan manusia
bukanlah pemilik mutlak sumber daya alam dan kekayaan itu. Karena itu, sumber
daya alam harus diberlakukan sebagai berikut: (1) sumber daya alam digunakan
untuk kepentingan seluruh umat manusia bukan untuk sebagiannya saja; (2) setiap
orang harus mendapatkan sumber daya alam secara benar sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi; (3) harta kekayaan yang telah diperoleh bukan
di dalamnya; dan (4) tak seorang pun berhak untuk merusak atau membuang sumber
daya alam yang telah diberikan tuhan.
Konsep
keseimbangan (equilibrium) terlihat
dalam berbagai aspek dan perilaku ekonomi, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimory), dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini
tidak hanya berkenaan dengan timbangan kebaikan hasil usaha manusia yang
diarahkan untuk dunia dan akhirat, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan
perorangan dan kepentingan umum yang harus dipelihara, serta keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Dengan
demikian, dalam melakukan aktivitas ekonomi yang berdarah pada konsep tauhid,
umat Islam hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai –
nilai ketuhanan. Artinya, apapun jenis muamalah yang dilakukan oleh seorang
Muslim harus senantiasa dalam rangka penabdian kepada Allah dan berprinsip
bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan tersebut. Kedua, seluruh aktivitas ekonomi tidak
terlepas dari nilai – nilai kemanusiaan dan dilakukan dengan mengetengahkan
akhlak terpuji, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
Ketiga, melakukan pertimbangan atas
kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan masyarakat. Jika untuk memenuhi
kemaslahatan bersama harus mengorbankan kemaslahatan individu, maka hal itu
boleh dilakukan.
2.
Kenabian
(Nubuwwah)
Kenabian
(Nubuwwah) merupakan sifat yang diberikan Allah kepada manusia pilihan-Nya
karena mereka memiliki keistimewaan dan kemampuan khusus yang tidak dimiliki
manusia lain berupa wahyu dan mukjizat yang membuktikan kebenaran ajaran yang
mereka bawa. Yang berhak memberi dan menganugerahkan kenabian kepada seseorang
hanya Allah (QS. 22/al-hajj: 75, 3/Ali ‘Imran; 33, 4/an-Nisa’: 125, 20/Thaha:
13, 41, dan 42/asy-syu’ara’: 42)
Kenabian
merupakan salah satu nilai dasar ekonomi Islam karena fungsi Nabi Muhammad SAW
yang sentral dalam kesumberan ajaran Islam. Dalam diri Nabi bersemayam
sifat-sifat luhur yang layak menjadi panutan setiap pribadi Muslim, termasuk
dalam aktivitas ekonomi. Kesempurnaan pribadi Rasulullah terlihat sejak muda
sebelum diangkat menjadi Rasul, ia memperoleh penghormatan luar biasa karena
sikap dan kejujurannya, seperti tercermin dari julukannya, al-amin (yang terpercaya).
Nabi
Muhammad mempunyai sifat – sifat kemanusiaan yang sempurna seperti kejujuran,
kesabaran, keberanian, kebijaksanaan, dan berbagai perilaku terpuji lain. Nilai
– nilai luhur dan kepribadian sempurna itu diajarkan kepada umat Muslim agar
mereka mengikuti sifat – sifat terpuji tersebut.
Nabi
Muhammad adalah seorang pedagang yang dalam praktik ekonominya selalu
memperhatikan hubungan harmonis antara pedangang dengan konsumen. Hal ini
terlihat pada sikapnya yang tidak pernah bersitegang dengan pembeli. Semua
orang yang berhubungan dengannya selalu merasa senang, puas, yakin, dan percaya
akan kejujurannya. Tidak seorang pun yang melakukan transaksi bisnis dengan
Nabi khawatir tertipu atau dirugikan karena Rasulullah menjunjung tinggi
kejujuran dalam berbisnis.
Nilai
– nilai dasar ekonomi dalam konsep nubuwwah
terlihat pada sifat – sifat wajib rasul yang empat. Pertama, shiddiq (benar dan jujur), yaitu apa pun yang disampaikan
Nabi adalah benar dan disampaikan dengan
jujur. Kebenaran dan kejujuran Nabi mencakup jujur dalam niat, jujur dalam maksud,
jujur dalam perkataan, dan jujur dalam tindakan. Kedua, amanah (dapat dipercaya) dengan nilai dasat terpercaya dan
nilai – nilai dalam berbisnis berupa adanya kepercayaan, tanggung jawab,
transparan dan tepat waktu. Ketiga,
fathanah (cerdas), memiliki pengetahuan luas, dan dalam bisnis memiliki
visi, kepemimpinan yang cerdas, sadar produk dan jasa setra belajar
berkelanjutan, keempat, tabligh (menyampaikan
ajaran Islam), nilai dasar dalam bisnis adalah komunikatif, supel, mampu
menjual secara cerdas, mampu mendeskripsikan tugas, mendelegasi wewenang,
bekerja dalam tim, berkoordinasi, melakukan kendali, dan supervise.
3. Pemerintahan (Khilafah)
Dalam Islam, prinsip utama dalam
kehidupan umat manusia adalah Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Pencipta dan
Maha Esa. Sementara itu, manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan dalam
bentuk yang paling baik (QS. at-Tin (95) 3), sesuai dengan hakikat wujud
manusia sebagai khalifah dalam kehidupan dunia, yakni melaksanakan tugas
kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Sang Maha Pencipta. Di muka bumi,
manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya
demi kesejahteraan seluruh makhluk. Berkaitan dengan ruang lingkup tugas
khalifah ini, Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ
فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ
وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi ini, niscaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang mencegah diri dari perbuatan
yang munkar” (QS.
al- Hajj:41)
Ayat tersebut menyatakan bahwa
mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan yang baik antara manusia dengan
Allah, menunai kan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan sesama
manusia, sedangkan ma'ruf berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik
oleh agama, akal serta budaya, dan munkar ada lah sebalikya. Dengan demikian,
sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan
suatu masyarakat yang berhubungan baik dengan Allah, dan membina kehidupan
masyarakat yang harmonis serta memelihara agama, akal, dan budaya.
Menurut M. Umer Chapra, ada empat faktor
yang terkait dengan khilafah dalam hubungannya dengan ekonomi Islam, yaitu
universal brotherhood (persaudaraan universal), resource are a trust (sumber
daya alam merupakan amanat), humble life style (gaya hidup sederhana), dan
human freedom (kemerdekaan manusia). Keempat faktor ini merupakan penyangga
khilafah sebagai wahana untuk mencapai kesejahteraan kehidupan dunia dan
kesejahteraan di akhirat. Persaudaraan universal yang melibatkan seluruh umat
manusia karena setiap orang adalah khalifah Allah di muka bumi tanpa membedakan
suku, bangsa, atau negara asal. Persaudaraan kesamaan derajad sosial (social
equity) dan kehormatan umat manusia (dignity of all human beings)
4.
Keadilan
('Adl)
Nilai keadilan merupakan konsep
universal yang secara khusus berarti menempatkan sesuatu pada posisi dan
porsinya. Kata adil da lam hal ini bermakna tidak berbuat zalim kepada sesama
manusia, bu kan berarti sama rata sama rasa 42 Dengan kata lain, maksud adil di
sini adalah me-nempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh'u al-sya-i ala makanih).
Walaupun, sebenarnya konsep adil bukan monopoli ekonomi Islam. Kapitalisme dan
sosialisme juga memiliki konsep Bila kapitalisme mendefinisikan adil sebagai
yang dapat Anda upayakan (you get what you deserved dan sosialisme
mendefinisikannya sebagai others), sama rasa sama rata (no one has privelege to
get more than maka Islam mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi tidak pula
dizalimi.
Dalam konsep kapitalisme, jika seseorang
memperlakukan orang lain sesuai dengan upaya dan jerih payahnya, maka perlakuan
itu disebut adil. Keadilan terletak pada sejauhmana dan seberapa banyak orang
itu berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Kekayaan merupakan cerminan hasil usaha
orang kaya, sebaliknya kemiskinan juga merupakan cerminan hasil upaya orang
miskin. Maka, dalam konsep kapitalisme bukan menjadi kepentingan orang kaya
untuk memperhatikan orang miskin dan sesamanya, dan bukan hak orang miskin
untuk meminta perhatian orang kaya. Sebaliknya, dalam konsep sosialis, kekayaan
adalah hak semua orang tidak seorang pun mempunyai besar daripada yang lain.
Adapun dalam konsep Islam, si kaya berhak menjadi kaya karena usahanya, selama
tidak menzalimi orang lain. Di samping itu, terdapat hak orang lain dalam hasil
jerih payah seseorang sehingga jika orang itu tidak mengeluarkannya, maka ia
disebut tidak adil.
Dalam hal ini, pemerataan kekayaan
sehingga tidak terjadi kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang
miskin harus dilakukan dalam rangka menjunjung nilai keadilan di bidang
ekonomi. Konsep ini sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila terutama sila
kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. lslam telah
mengajarkan bagaimana cara mengurangi kesenjangan itu melalui konsep zakat,
infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya. Karena itu. sikap adil akan mendekatkan
pada nilai ketakwaan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, men dorong kamu untuk berlaku
tidak adil Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS 5/al-Maidah:
8).
Menurut M. Umer Chapra, keadilan dalam
bidang ekonomi menyangkut empat hal, yaitu need fulfilment (pemenuhan kebutuhan)
respectable source of earning (sumber penghasilan yang terhormat) equitable
distribution of income and wealth (distribusi penghasilan dan harta yang
berkeadilan), dan growth and stability (perkembangan dan stabilitas)."
Implikasi logis dari persaudaraan dan penggunaan sumber daya alam secara
amanah, sebagaimana terlihat pada prinsip tauhid di atas, adalah bahwa sumber
alam harus dimanfaatkan untuk memuaskan kebutuhan dasar setiap individu dan
menempatkan setiap orang pada standar kehidupan yang manusiawi. Status manusia
sebagai khalifah menghendaki agar ia memperoleh harta untuk memenuhi
kebutuhannya dengan cara yang benar. Manusia juga berhak menda- patkan
penghasilan dan harta secara adil tanpa penindasan dan tekan an dari pihak mana
pun, karena dengan keadilan itu menusia akan dapat menikmati perkembangan dan
stabilitas ekonomi.
Keadilan dapat menghasilkan keseimbangan
dalam perekonomian dengan meniadakan kesenjangan antara pemilik modal (orang
kaya) dengan pihak yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun, tentunya, Islam
tidak menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi
antar-orang perorangan. Sebagaimana
firman Allah dalam surah az-Zukhruf (43): 32:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ
رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
"Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tihanmu? Kamilah yang menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan du nia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat menggunakan
seba- gian yang lain. Dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.”
5.
Pertanggungjawaban
(Ma'ad)
Segala sesuatu yang dilakukan manusia nantinya
akan dimintai pertanggungjwabannya di akhirat kelak. Islam mengajarkan bahwa
kehidupan manusia di dunia ini hanya sementara, ada kehidupan sesudah kehidupan
dunia ini. Karena itu, manusia hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai tujuan
pokok dan segala-galanya karena di samping kehidupan dunia ada kehidupan lagi
yang lebih kekal. Di sana manusia akan mendapat kebahagiaan, kesenangan, dan
kesempurnaan hidup yang tak terhingga berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh
dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan. Ini bagi orang orang yang melakukan
kebajikan di dunia, termasuk kebajikan dalam bisnis. Akan tetapi, bagi mereka
yang suka berbuat dosa, kejahatan, manipulasi, dan kerusakan di muka bumi,
dalam kehidupan kelak akan mendapatkan penderitaan, kesusahan, malapetaka, dan
siksaan yang pedih dan mengerikan. Tidak ada kebahagiaan bagi mereka.
Konsep ma ad ini tidak ditemukan dalam
sistem ekonomi selain Islam. Baik kapitalis maupun sosialis tidak pernah
menghubungkan transaksi dan aktivitas ekonomi dengan kehidupan alam akhirat.
Bagi mereka pokok segala persoalan adalah materi, benda yang terdapat di
hadapan mata dan merupakan tenaga modal ataupun benda yang berupa tenaga
manusia dan tenaga organisasi. Tidak tampak oleh mereka bahwa di balik materi
itu (tenaga alam dan tenaga modal) terdapat hal gaib, yaitu Tuhan yang
Mahakuasa. Mereka juga tidak menyadari bahwa yang materi itu pada akhirnya akan
kembali kepada-Nya dan segala yang terkait dengan itu akan dimintai
pertanggungjwabannya.
Konsep ma’ad mengajarkan kepada manusia
bahwa segala per buatan yang mereka lakukan, apa pun motifnya, akan mendapat
balasan. Perbuatan baik (amal saleh) akan mendapatkan balasan yang baik pula,
yaitu dalam surga dan perbuatan kejahatan akan mendapat balasan buruk dalam
neraka. Dengan kata lain, terdapat reward dan dan siksa) atas segala bentuk
perbuatan manusia. punishment (pahala dan siksa)atas segala bentuk perbuatan
manusia. Karena itu, tidak selayaknya jika manusia melakukan aktivitas duniawi,
termasuk bisnis, semata-mata untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan
akibat negatif dari aktivitas itu di akhirat kelak.
Tidak selayaknya manusia hanya
mementingkan kehidupan dunia, tanpa memperhatikan kehidupan jangka panjang di
alam akhirat. Jika dikalkulasi dengan perhitungan bisnis, kehidupan manusia
tidak hanya diukur dengan pencapaian keuntungan materiel, tetapi lebih dari itu
pencaharian keuntungan di akhirat menjadi target utama sebagaimana firman Allah
surah al-Qashash (28): 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
"Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (ke-bahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat di atas menjelaskan empat hal,
yaitu: Pertama, mencari anu gerah Allah untuk kehidupan akhirat dengan
melakukan ibadah mah- dhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Kedua, tidak melupakan kehidupan dunia, dalam arti melakukan aktivitas muamalah
juga dalam rangka beribadah (ibadah ghayr mahdhah) seperti bekerja di kantor,
bercocok tanam, berdagang, dan lain-lain. Ketiga, berbuat baik dengan memenuhi
norma-norma etika dan tidak berlaku zalim, misalnya tidak menipu, mencuri,
korupsi, merampok, dan sebagainya. Keempat, tidak berbuat kerusakan di muka
bumi dengan merusak ekologi atau lingkungan alam.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Demikianlah makalah ini kami buat semoga makalah ini dapat di terima dan
dapat bermanfaat bagi orang lain. Tidak lupa kami mengucap puji syukur kepada
tuhan yang Maha Esa karena atas segala Rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik . Oleh karena itu, dengan kita mengetahui apa itu
nilai-nilai dasar ekonomi Islam maka kita sudah mengetahui apa itu ekonomi
Islam, hakikat ekonomi Islam, serta Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam
itu sendiri sehingga kita dapat menerapkan nilai dasar ekonomi Islam tersebut
dalam kehidupan sehari hari dan semoga kita semua menjadi hamba yang bertaqwa
disisi Allah SWT . Semoga makalah ini dapat di terima oleh semua pihak karena
makalah ini merupakan tahap awal kita semua dalam memulai belajar.
4.2 Saran
Segala
saran dan kritik kami harapkan dari semua pihak karena kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna. Saran
dan kritik tersebut semoga saja dapat menjadi pelajaran bagi kami semua untuk
dapat menjadi pelajaran bagi kami semua untuk dapat menjadi lebih baik lagi
kedepannya,serta makalah ini agar dapat menjadi bermanfaat bagi kita semua dan
menjadi tolak ukur bagi kita semua agar memahami secara menyeluruh apa yang
termuat dalam nilai-nilai dasar ekonomi Islam tersebut, atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Shaffat Idri. 2015. Hadis Ekonomi Islam: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Jakarta:
KENCANA.
Komentar
Posting Komentar