NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM



NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM

                                                                    

          OLEH




AL MUNAWIR                                                                           1601104010001
ICHWANUL HAKIM                                                                 1601104010004
ABDUL HADI PANGGAR BESSY                                          1401104010008
MAKHRAJ BAITURRAHMAN                                                            1401104010012


 








                                              

                                                
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2017

KATA PENGANTAR


            Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam” guna memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi dalam Al-Qur’an dan Hadist.
            Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasannya pengetahuan penulis. Oleh karena itu dalam rangka melengkapi kesempurnaan dari penulisan makalah ini, diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara moral maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada:
1.      Bapak DR.Ridwan Nurdin,SE.,MA selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Ekonomi dalam Al-qur’an dan Hadist Universitas Syiah Kuala
2.      Orang tua, saudara-saudara, sahabat-sahabat, dan seluruh teman yang selalu memberikan masukan, dorongan, dan bantuan yang tak ternilai harganya.







Banda Aceh, 02 November 2017

PENULIS




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................ 1
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 1

BAB II NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM.................................................. 1
A.  Pengertian Ekonomi Islam........................................................................................... 2
B.  Hakikat dan Dasar Ekonomi Islam.............................................................................. 3
C.  Hadist tentang Nilai Dasar Ekonomi Islam................................................................. 4
D.  Nilai-nilai Dasar dalam Ekonomi Islam....................................................................... 5

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 16
4.1 Simpulan.................................................................................................................... 16
4.2 Saran ......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 17


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
           
            Ekonomi Islam adalah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadist yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi. Ekonomi Islam didasari oleh prinsip-prinsip syari’ah Islam yang berorientasi pada kehidupan dunia maupun akhirat. Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan syari’ah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi.
            Ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi syari’ah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi syari’ah bukan untuk meyaingi sistem ekonomi kapitalisme atau sistem sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja Pengertian ekonomi Islam ?
2. Bagaimana Hakikat dan dasar ekonomi Islam ?
3. Apa saja Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam ?
4. Bagaimana Nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian ekonomi Islam
2. Mengetahui Hakikat dan dasar ekonomi Islam
3. Mengetahui Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam
4. Mengetahui Nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam


 


BAB II
NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM

A.    Pengertian Ekonomi Islam
Istilah ekonomi dari bahasa yunani Kuno (Greek) yaitu oicos dan nomos yang berarti rumah dan aturan (mengatur urusan rumah tangga). Menurut istilah konvensional, ekonomi berarti aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik dalam rumah tangga rakyat (volkshuishoulding) maupun dalam rumh tangga negara (staatshuishouding). Para pakar ekonomi mendefinisikan ekonomi sebagai suatu usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik materiel maupun non-materiel dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif, yang menyangkut perolehan, pendistribusian ataupun pengguanaan utuk memenuhi kebutuhan hidup. Ekonomi juga diartikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langaka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.
Dalam bahasa Arab, ekonomi dinamakan al-mu’amalah al-maddiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Disebut juga al-iqtishad, yaitu pengaturan soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. Secara istilah, pengertian ekonomi Islam dikemukakan dengan redaksi yang beragam di kalangan para pakar ekonomi Islam. Menurut Mohammad Nejatullah Siddiq, ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikiran Muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, akal pikiran, dan pengalaman. M. Abdul Mannan mendefinisikan ekonomi Islam dengan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami dengan nilai-nilai Islam. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh M.M. Metwally bahwa ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari perilaku Muslim (orang yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi, ijma, dan qiyas.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
Khurshid Ahmad mendefinisikan ekonomi Islam dengan suatu usaha sistematis untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya kepada persoalan tersebut menurut perspektif Islam. Syed Nawab Haider Naqvi memahami ekonomi Islam dalam perspektif sosiologi  yang mempelajari perilaku manusia dalam perkonomian di segala aspek kehidupan dengan corak yang khas. Bagi Naqvi, ekonomi Islam lebih ditekankan sebagai sains yang bertugas menyibak permasalahan manusia dalam sebuah masyarakat Muslim dengan pola dan corak hidup yang tipikal. Ia menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah perwakilan perilaku kaum Muslimin dalam suatu masyarakat Muslim tipikal atau khas. Louis Cantori, sebagaimana dikutip oleh M. Umer chapra, menyatakan bahwa ekonomi Islam pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat yang tidak mengakui individualisme yang berlebih-lebihan sebagaimana dalam ekonomi klasik.
Menurut S.M. Hasanuzzaman, ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya materiel sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan mengikuti aturan masyarakat. Adapun M. Umer Chapra mendefinisikan ekonomi Islam dengan cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan masyarakat.
Secara garis besar, pembahasan ekonomi mencakup tiga hal, yaitu ekonomi sebagai usaha hidup dan pencaharian manusia (economical life), ekonomi dalam rencana suatu pemerintahan ( politycal economy), dan ekonomi dalam teori dan pengetahuan (economical science). Ekonomi dipandang pula sebagai sesuatu yang berkenan dengan kebutuhan manusia dan sarana-sarana pemenuhannya yang berkenaan dengan produksi barang dan jasa sebagai sarana pemuas kebutuhan. Dengan kata lain, kebutuhan dan sarana-sarana pemuasnya dikaji secara tak terpisah satu dengan yang lain karena keduanya saling berkaitan secara sinergis; pembahasan distribusi barang dan jasa menjadi satu dengan pembahasan produksi barang dan jasa.
B.     HAKIKAT DAN DASAR EKONOMI ISLAM
Asumsi dasar atau norma pokok dalam proses maupun interaksi kegiatan ekonomi adalah syariat Islam yang diberlakukan secara menyeluruh (kaffah atau totalitas) baik terhadap individu, keluarga, masyarakat, pengusaha, atau pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hidup baik untuk keperluan jasmani maupun rohani. Jika diperhatikan beberapa definisi di atas terlihat bahwa prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan tetap menjaga kelestarian linkungan alam. Motif ekonomi Islam adalah mencari keberuntungan di dunia dan akhirat oleh manusia selaku khalifah Allah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas (‘ibadah ghayr mahdhah).
Menurut M. Umer Chapra, syariat Islam, sebagaimana terlihat pada maqashid al-syari’ah, mencakup segala hal yang diperlukan untuk merealisasikan keberuntungan (falah) dan kehidupan yang baik (hayah thayyibah) dalam bingakai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan keyakinan (faith), jiwa atau kehidupan (soul/life), akal pikiran (intellect), keturunan (posterity), dan harta kekayaan (wealth). Syari’at Islam meletakkan hubungan manusia pada tempat yang selayaknya, menjadikan manusia mampu berinteraksi satu dengan yang lain secara seimbang dan saling menguntungakan. Syariah juga memberiakan filter moral untuk alokasi dan distribusi sumber daya sesuai dengan konsep persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, serta sistem yang memotivasi kekuatan untuk mencapai tujuan berupa pemenuhan kebutuhan dengan kesetaraan distribusi penghasilan dan harta kekayaan.
Menurut Rasulullah, suatu usaha untuk mendapatkan, mendistribusikan, dan mengatur harta harus dilakukan secara benar dan diperlukan keahlian memadai untuk melakukannya. Berkenaan dengan pengelolaan harta dan pemanfaatan ilmu, Nabi pernah menyatakan bahwa seseorang tidak boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu bagi orang yang mendistribusikan harta nya dengan benar dan orang yang mengamalkan ilmu dan mengajarkannya. Rasulullah besabda:
                                                                                                                             
عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ يَقُوْلُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي كِهَا وَيُعَلِّمُهَا(رَوَاهُ الْبُخَارِيُ)

Dari Ibn Mas’ud r.a., katanya, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: :Tidak boleh iri kecuali dalam dua perkara, yaitu (kepada) orang yang diberi harta oleh Allah lalu ia menggunakan (menghabiskan)-nya dalam kebenaran dan orang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya”.
Sebagaimana ekonomi konvensional, ekonomi Islam juga membicarakan tentang aktivitas manusia dalam mendapatkan dan memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif, yang menyangkut perolehan, pendistribusian ataupun penggunaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya saja, dalam ekonomi Islam, segala aktivitas ekonomi tersebut harus didasarkan pada norma dan tata aturan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, ijma’, qiyas, dan sebagainya.
Di sinilah letak hakikat ekonomi Islam yang terlihat pada ciri khasnya yang berdasar pada sumber-sumber ajaran Islam tersebut serta maqashid al-syariah umumnya yang bertujuan merealisasikan kesejahteraan manusia dengan terealisasinya keberuntungan (falah) dan kehidupan yang baik (hayah thayyibah) dalam bingakai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan keyakinan, jiwa, atau kehidupan, akal pikiran, keturunan, dan harta kekayaan melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi, memperkuat solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan masyarakat, dan menciptakan keadilan terutama dalam distribusi.
Al-Qur’an merupakan petunjuk yang tidak diragukan kebenarannya bagi umat Islam dalam mengatur kehidupan mereka di dunia, termasuk bidang ekonomi. Allah berfirman:
Artinya: “itulah kitab (Al-Qur’an) yang tidak diragukan di dalamnya (terdapat) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (QS.2/al-baqarah:2)
Aktivitas ekonomi diatur dalam Al-Qur’an, misalnya tentang jual beli (perdagangan) yang harus dilakukan secara suka sama suka, tidak boleh dengan cara yang batil termasuk intimidasi, eksploitasi, dan pemaksaan. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:                                                                                                                                
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
        
“Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kamu saling makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih penyayang kepada mu. (Q.S. 4/an-Nisa:29).
Sunnah atau Hadist Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang memerintahkan kaum Muslimin agar mengikuti perilaku Nabi SAW, yang menjadi teladan, dan sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an baik melalui sabda-sabda, perbuatan, sikap, maupun perilakunya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat Islam menaati Allah dan mengikuti Rasulullah serta larangan berpaling darinya. Misalnya surah al-Anfal:20:                                                                                                          Yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”.
Sebagaimana dipraktikkan pada masa Nabi dan masa-masa berikutnya, umat Islam mempunyai konsep ekonomi yang khas jika dibandingkan dengan konsep ekonomi lain baik kapitalis maupun sosialis. Meskipun Rasulullah tidak diutus sebagai ahli ekonomi, tetapi sebagai Rasul dalam rangka untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, bidang ekonomi juga tersentuh oleh ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sebagaimana bidang-bidang lain; akidah, ibadag, etika, sosial, kenegaraan, dan hukum. Rasulullah pernah menyatakan bahwa dirinya telah meninggalkan dua hal yang jika umat Islam mengikutinya, tidak akan pernah sesat selamanya. Ia besabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang pada keduanya, niscahya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnah Rasulnya."(HR. Al. Hakim an naisaburi).
Dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi terdapat banyak ajaran yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Berdasar ajaran dalam kedua sumber tersebut, para ulama berijtihad menetapkan hukum dan konsep tentang ekonomi sehingga muncullah aturan-aturan berkenaan dengan bidang tersebut, seperti fiqh muamalah dan al-iqtishad fi al-Islam (ekonomi Islam).
Disamping Al-Qur’an dan Sunnah, sumber inspirasi ekonomi Islam adalah ijma’. Ijma’ merupakan kesepakatan semua mujtahid umat Muhammad SAW dalam satu masa setelah beliau wafat tentang hukum syara’. Keberadaan ijma’ menjadi solusi pemecahan persoalan yang dihadapi umat Muslim termasuk dalam bidang ekonomi karena dengan kesepakatan itu, perpecahan pendapat dapat dihindari dan umat Muslim tinggal melaksanakan hasil kesepakatan tersebut. Karena itu, ijma’ merupakan faktor paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktik rumit kaum Muslimin pada suatu masa tertentu dan memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi.
Di kalangan umat Islam, jika suatu persoalan tidak secara tegas diselesaikan dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’, maka mereka menyelesaikannya dengan qiyas atau metode metode ijtihad lain. Qiyas pada satu sisi menjadi sumber Islam dan pada sisi yang lain sebagai metode penetapan hukum Islam. Qiyas dapat didefinisikan dengan pemindahan hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar ‘illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa. Qiyas ini sering pula dikaitkan dengan ijtihad, yaitu upaya mencurahkan segala daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci yang bersifat operasional dengan cara istinbath untuk mencapai kesimpulan hukum. Qiyas berperan dalam memperluas hukum ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadist Nabi kepada soal-soal yang tidak termasuk dalam ketentuan keduanya secara eksplisit dengan adanya persamaan alasan atau sebab efektif yang disebut ‘illat yang terdapat pada dua peristiwa yang dianalogkan.
Di samping keempat sumber tersebut, ‘urf  merupakan salah satu sumber inspirasi nilai-nilai ekonomi Islam. ‘urf  dapat diartikan dengan sesuatu yang diketahui dan dilakukan orang atau sesuatu yang bisa dilakukan masyarakat Muslim yang telah terinternalisasi dalam bentuk adat istiadat baik berupa perkataan, sikap, perbuatan, atau lainnya. Demikian halnya istihsan dapat menjadi pertimbangan untuk menelusuri nilai-nilai ekonomi Islam dengan cara mendahulukan qiyas khafi (yang tersembunyi) dari qiyas jali (jelas) atau dari hukum kulli (umum/global) kepada hukum istitsna’i ( pengecualian).
Metode lain yang dapat digunakan untuk menggali nilai atau hukum ekonomi Islam adalah dengan istishhab, yaitu dengan cara menetapkan suatu nilai atau hukum tertentu sampai sesuai keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil yang mengubah keadaan itu atau menjadikan hukum atau nilai yang ada di masa lalu tetap di pakai sampai sekarang sampai ada dalil yang mengubahnya. Di samping itu, nilai-nilai dan hukum ekonomi Islam dapat ditelusuri melalui metode mashlahah al- mursalah yang berupa kemashlahatan yang tidak disyariatkan oleh Allah dalam wujud hukum nash dalam rangka menciptakan kemashlahatan manusia. Nilai-nilai bidang ekonomi banyak yang sebagian tidak tersentuh nash dapat ditetapkan melalui mashlahah ini.
Dengan demikian, ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu Al-Qur’an, Hadist, ijma’, qiyas, dan sebagainya. Karena itu, konsep, sistem, dan nilai dasar ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari berbagai dasar tersebut.
C. HADIS TENTANG NILAI EKONOMI ISLAM
Nilai-nilai dasar ekonomi antara lain dijelaskan dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khdzri yang menjelaskan tentang pedagang yang jujur dan terpecaya dalam melakukan aktivitas ekonomi sehingga tidak melakukan penipuan kepada pembeli ataupun orang lain. Kejujuran merupakan integritas pribadi yang harus dimiliki oleh setiap muslim, termasuk pebisnis dan pengusaha, karena dengan kejujuran segala aktivitas ekonomi akan berjalan dengan lancar tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan. Pedagang yang jujur di samping akan mendapatkan laba dan kehidupan yang berkah di dunia, di akhirat mereka akan bersama para nabi,orang-orang jujur,dan orang-orang yang mati syahid. Nabi SAW Bersabda :
“ Pedagang yang jujur lagi terpecaya akan bersama dengan para nabi, para sadiqin, dan para syuhada pada hari kiamat nanti “. (HR. Ahmad)
Dalam hadis di atas terdapat nilai-nilai dasar ekonomi, yaitu kejujuran (al-shidq), transparasi dan amanah (al-amanah), ketuhanan (al-tauhid), kenabian (al-nubuwwah), serta pertanggung jawaban (ma’ad, yaum qiyamah). Nilai-nilai ini selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, kejujuran. Kejujuran merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Dengan aktivitas ekonomi yang dilandasi dengan kejujuran, manusia akan saling mempercayai dan terhindar dari penipuan. Manusia akan merasa tenang dan tentram dalam kehidupannya tanpa ada rasa was-was, disebabkan kekhawatiran  hak-haknya diambil orang lain. Kejujuran dapat membawa kepada kabaikan dan kebaikan dapat membawa pada surga.
Orang yang selalu berbuat jujur, niscaya hidupnya selalu diliputi dengan sikap dan perilaku baik karena ia tidak menipu dirinya ataupun orang lain. Orang yang senantiasa jujur dalam kehidupannya akan ditetapkan oleh Allah sebagai orang yang jujur. Demikian sebaliknya, kebohongan membawa kepada keburukan. Orang yang selalu berbuat bohong akan membohongi dirinya dan orang lain, meskipun melakukan keburukan ia akan tetap merasa benar sehingga tidak menyesal dan terus menerus melakukannya.
Rasulullah melarang segala bentuk aktivitas ekonomi dalam bentuk penipuan karena penipuan dapat merugikan orang lain. Penipuan dapat merugikan orang lain dan melanggar hak asasi jual-beli, yaitu suka sama suka. Jual beli yang mengandung penipuan adalah jual beli yang tidak diketahui hasilnya, atau tidak bisa diserah-terimakan, atau tidak diketahui hakekat dan kadarnya, misalnya jual-beli burung yng masih terbang di angkasa, jual-beli binatang yang masih dalam kandungan. Nabi SAW Bersabda :
“ Dari Abu Hurairah r.a, berkata , “ Rasulullah melarang jual-beli dengan cara melempar dan jual-beli yang mengandung penipuan”. (HR. Muslim)
Kedua, amanah. Kejujuran dan amanah mempunyai hubungan yang sangat erat karena orang yang selalu jujur pastilah amanah. Perbedaannya, kejujuran bermula dari dalam diri si pelaku, sedangkan amanah berdasar kepercayaan orang lain yang diberikan kepada orang lain. Allah memerintahkan agar umat Islam menunaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan jika memutuskan perkara agar dilakukan secara adil, sebagaimana firmannya :
Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menunaikan amanatkepada orang yang berhak menerimanya dan apabila kalian memutuskan hukum diantara manusia maka putuskanlah dengan adil”. (QS. An-nisa : 58)
Bersikap dan berperilaku amanah sangatlah dianjurkan oleh Islam dan orang yang tidak amanah disebut penghianat, termasuk salah satu ciri orang munafik. Pengkhianatan merupakan perbuatan yang sangat keji, tidak hanya berakibat fatal pada orang per orang tetapi pada suatu bangsa dan negara.
Ketiga, ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam ekonomi Islam secara sederhana dapat digambarkan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi tidak lain adalah untuk beribadah kepadanya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surah adz-dzariyat ayat 56 :
“Dan aku tidak menciptakanjin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah) kepada-ku.”
Seluruh aktivitas manusia dilakukan dalam rangka untuk mengabdi kepada Allah baik aktivitas ibadah mahdah seperti puasa, zakat, haji, zikir dan sebagainya dan ibadah gairu mahdah seperti kegiatan kita sehari-hari umat Islam sebagaimana yang dilakukan dengan niat untuk ibadah kepada Allah.
Rasulullah pernah ditanya tentang suatu aktivitas yang membuat seseorang dekat dengan surga dan jauh dari neraka. Ia menjawab bahwa jika seseorang ingin dekat dengan surga dan jauh dari neraka, maka hendaklah ia menyembah kepada Allah dan tidak menyukutannya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadis riwayat Muslim berikut :
“Tunjukkanlah kepadaku tentang perbuatan yang dapat mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku ke neraka”. Nabi bersabda,”Kamu sembah Allah dan jangan sekutukan dengan sesuatuapa pun, dirikan shalat, tunaikan zakat, dan sambunglah tali persaudaraanmu.” Ketika laki-laki itu pergi Nabi bersabda,”Jika ia berpegang pada apa yang diperintahkan kepadanyan maka ia akan masuk surga”. (HS.Muslim)
Ketiga, kenabian. Ada beberapa model perilaku ekonomi yang dicontohkan Nabi misalnya menjual barang yang benar, melakukan gadai, berserikat dalam bisnis, dan sebagainyajuga pandangan Nabi tentang dan kekayaan. Nabi melarang umat Islam melakukan jual-beli dengan cara menipu. Segala kegiatan di bolehkan selama tidak ada mengandung unsur penipuan yang dapat merugikan orang lain.
Rasulullah memandan harta dan kekayaan bukan sebagai tujuan hidup tetapi sekedar sebagai sarana untuk hidup. Kekayaan sesungguhnya bukan untuk mencapai kepuasan secara material saja sebagaimana dimaksudkan dalam ekonomi konvensional karena secara kodrat manusia tidak akan pernah puas berkaitan dengan materi itu. Kekayaan menurut Rasulullah adalah kekayaan jiwa karena jika seseorang kaya jiwanya, maka akan berlapang dada meskipun tidak ada sepeser pun uang dalam genggamannya, jika ia mempunyai harta meskipun sedikit akan diberikannya sebagian kepada orang lain yang membutuhkan. Rasulullah bersabda :
“Yang disebut kaya bukanlah karena banyaknya harta benda tetapi yang disebut kaya adalah yang kaya jiwanya”. (HR.Muslim)
Kelima, pertanggung jawaban. Segala aktivitas ekonomi hendaklah dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab muncul karena manusia adalah makhluk yang mukallaf, yaitu makhluk yang diberi beban hukum berbeda dengan makhluk lain seperti binatang dan tumbuhan. Karena taklif itulah, manusia harus mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya dank arena itu pula ia oleh Rasulullah disebutkan sebagai pemimpin. Setiap manusia muslim yang dewasa, akil dan baligh serta mumayyiz adalah pemimpin dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu.
Menurut Rasulullah, seseorang suami yang bekerja bertanggung jawab untuk memberi nafkah kepada  istri dan anaknya. Demikian pula istri diperbolehkan mendistribusikan sebagian harta suaminya kepada orang lain dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan. Masing dapat pahala dan bertanggung jawab untuk itu. Rasulullah bersabda :
”Jika seoarang perempuan menafkankan sebagian makanan dirumahnya tanpa menimbulkan kerusakan, maka ia mendapatkan pahala dari apa yang ia nafkahkannya dan suaminya juga mendapatkan pahala dari uasaha bekerjanya, dan seorang penjaga juga mendapatkan seperti itu, sebagian mereka tidak mengurangi pahala sebagian yang lain”. ( HR.Al-Bukhari).
D. NILAI-NILAI DASAR DALAM EKONOMI ISLAM
Nilai dasar ekonomi Islam berbeda dengan nilai dasar ekonomi kapitalis dan sosialis. Ekonomi kapitalis berdasar pada laisez-faire (kebebasan mutlak) sebagai ideology dasarnya. Nilai dasar tersebut kemudian membentuk nilai-nilai dasare masyarakat kapitalis yang berupa kepimilikan pribadi, motif mencari laba, dan persaingan bebas. Pada masa modern, nilai dasar ekonomi kapitalis yang dikembangkan adalah penumoukan modal, penciptaan kekayaan, ekspansi. Nilai dasar ekonomi kapitlais didasarkan pada pandangan Adam Smith. Sedangkan ekonomi sosialis didasarkan pada konsep sosialisme Karl Marx sebagai antitetis dari konsep kapitalisme yang menyatakan bahwa produksi yang berlebihan,tingkat konsumsi yang rendah, disproporsi, eksploitasi, dan alineasi yang dialami kaum buruh dapat menciptakan suatu kondisi yang memaksa terjadinya revolusi social untuk menumbangkan kapitalis. Nilai dasar ekonomi sosialis yang membatasi kepemilikan pribadi yang sangat ketat dapat melanggar hak asasi dan dapat menghalangi terjadinya kreativitas dan produktivitas yang sehat.
Berbeda dengan ekonomi Islam yang dimana sejak awal merupakan formulasi yang didasarkan atas pandangan Islam tentang hidup dan kehidupan yang mencakup segala hal yang diperlukan untuk merealisasikan keberuntukan dan kehidupan yang baik dalam binhkai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan keyakinan, jiwa atau kehidupan, akal atau pikiran, keturunan dan harta kekayaan.
Ekonomi Islam didasarkan pada nilai-nilai luhur yang ditemukan dalam sumber-sumber ajaran islam seperti ayat-ayat Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan qiyas. Dari sumber ini, kita bisa memperoleh nilai-nilai dasar ekonomi Islam, termasu nilai-nilai moralitas seperti menyeru manusia kepada kebenaran dan kebaikan, kesabaran dan akhlak, serta mencegah mereka dari kepalsuan dan kemungkaran. Demikian pula, islam menyuruh mereka membantu orang miskin dan mekarang  mereka berbuat zalim, melanggar hak orang lain dan menumpukkan harta secara tidak halal.
Dikalangan ilmuwan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang nilai-nilai dasar itu, meskipun sesungguhnya mereka mengarah pada muara yang sama. Menurut Adiwarman Karim ada lima dasar ekonomi Islam, yaitu keimanan, keadilan, kenabian, pemerintahan dan kembali/hasil. Kelima nilai dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Menurut kurshid Ahamad, niali-nilai dasar ekonomi Islam dan sekaligus sebagai landasan filosofis untuk pengembangan ekonomi islam adalah tauhid, khilafah, dan tazkiyyah. Selanjutnya nilai-nilai dasar ekonomi Islam dijelaskan sebagai berikut:
1.      Ketuhanan (Keimanan/Tauhid)
Konsep ketuhanan atau tauhid, dalam ajaran Islam ada dua, yaitu tauhid rububiyyah dan tuhid uluhiyyah. Tauhid rububiyyah berkenaan dengan Allah sebagai Tuhan, pencipta, dan pengatur alam semesta. Kata rububiyyah berasal dari kata rabb yang berarti menciptakan, memelihara, dan mengatur. Kata rabb, sesuai makna linguistic Arab, lebih mengarah pada makna kepemilikan dan penguasaan sehingga tauhin rububiyyah  diartikan sebagai kepercayaan tentang keesaan Tuhan dalam hal sebagai pencipta, pemilik dan penguasa alam. Menurut Muhammad Syahryr, tauhin rububiyyah merupakan realitas objektif di luar kesadaran manusia, relasi antara Allah dan seluruh makhluk-nya berupa relasi penguasaan, pengaturan, dan pemilikan, sebuah relasi paten dan tidak akan pernah berubah.
Alam semesta diciptakan oleh Allah dan bukan ada dengan sendirinya. Allah-lah yang menciptakan dan mengatur segala yang ada di langit dan di bumi, yang diperuntukkan bagi kehidupan umat manusia.
Sebagai bentuk dan manifestasi rasa syukur atas segala karunia Allah yang diberikan kepada manusia yang ada di muka bumi, maka manusia melakukan peribadatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, Allah sang pencipta dan pengatur alam semesta adalahsatu – satunya tuhan yang disembah sebagai wujud terima kasih manusia atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Konsep inilah yang dikenal dengan tauhid uluhiyyah yang berarti mengesakan Allah, tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya. Tauhid uluhiyyah berkenaan dengan kewajiban manusia untuk menyembah hanya kepada Allah sebagaimana dimaksudkan dalam surah al-dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku”.
Baik tauhid uluhiyyah maupun tauhid rububiyyah yang menjadi fondasi keberagaman umat Islam telah berpengaruh terhadap setiap sendi-sendi kehidupan mereka; dibidang ibadah, akhlak, social, politik, budaya, hukum, termasuk juga bidang ekonomi. John L. Esposito menyatakan bahwa monoteisme Islam yang mutlak dijaga dalam doktrin keesaan (tawhid) dan kedaulatan (rabb, penguasaan, pengasuh) Tuhan yang mendominasi akidah dan praktik Islam.
Nilai dasar ekonomi yang berfalsafah tauhid terlihat antara lain pada konsep kepemilikan (ownership) dan keseimbangan (equilibrium). Konsepkepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam terletak pada pemanfaatannya bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber – sumber ekonomi, berbeda dengan konsep kapitalis di mana terdapat kepemilikan mutlak individu terhadap sumber ekonomi.
Manusia hanya memiliki hak manfaat dari sumber – sumber ekonomi. Menurut Islam, harta tidak lebih dari sekedar karunia Allah yang dititipkan kepada manusia. Manusia hanyalah makhluk yang menjadi pengelola harta tersebut dan  bukan memilikinya secara penuh. Pada harta titipan tersebut ada hak orang lain yang harus diberikan. Harta tidak lebih dari ujian apakah pemilik nya dapat mensyukuri atau tidak.
Kepemilikan tersebut terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia dan bila orang itu meninggal dunia, maka harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan islam.
Nilai – nilai dasar ekonomi Islam yang berkaitan dengan kepemilikan dan aktivitas ekonomi adalah: pertama, kebebasan individu, yaitu setiap individu mempunyai kebebasan untuk membuat keputusan yang dianggap perlu karna tanpa kebebasan, individu Muslim tidak dapat memenuhi kewajiban agama dan Negara, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi demi kesejahteraan pribadi dan keluarga nya asalkan tidak merugikan orang lain. Kedua, ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar. Islam mengakui ketidaksamaan ekonomi antar per orang, namun tidak membiarkannya menjadi bertambah luas melainkan berusaha agar kesenjangan itu dalam batas yang wajar. Ketiga, kesamaan social. Islam mengakui adanya ketidaksamaan dalam bidang ekonomi tetapi mendukung adanya kesamaan social sehingga kekayaan Negara tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu. Keempat, adanya jaminan social. Menurut Islam, setiap individu mempunyai hak hidup dan setiap warga Negara dijamin mendapatkan kebutuhan pokoknya. Kelima, distribusi kekayaan secara meluas. System ekonomi Islam melarang penumpukan harta kekayaan pada kelompok kecil tertentu melainkan harus didistribusikan secara luas kepada orang – orang yang berhak menerimanya. Keenam, larangan menimbun harta kekayaan. Islam mencegah praktik penimbunan kekayaan atau komoditas dengan maksud agar tidak terjadi kelangkaan barang dan menghindari kenaikannya untuk kepentingan pribadi pemilikinya. Ketujuh, adanya kesejahteraan bersma. Islam mengakui kesejahteraan individu dan masyarakat secara bersama dan saling melengkapi bukan salingg bertentangan antar keduanya.
Sumber daya alam dan kekayaan merupakan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya dan manusia bukanlah pemilik mutlak sumber daya alam dan kekayaan itu. Karena itu, sumber daya alam harus diberlakukan sebagai berikut: (1) sumber daya alam digunakan untuk kepentingan seluruh umat manusia bukan untuk sebagiannya saja; (2) setiap orang harus mendapatkan sumber daya alam secara benar sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi; (3) harta kekayaan yang telah diperoleh bukan di dalamnya; dan (4) tak seorang pun berhak untuk merusak atau membuang sumber daya alam yang telah diberikan tuhan.
Konsep keseimbangan (equilibrium) terlihat dalam berbagai aspek dan perilaku ekonomi, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimory), dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini tidak hanya berkenaan dengan timbangan kebaikan hasil usaha manusia yang diarahkan untuk dunia dan akhirat, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan perorangan dan kepentingan umum yang harus dipelihara, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dengan demikian, dalam melakukan aktivitas ekonomi yang berdarah pada konsep tauhid, umat Islam hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai – nilai ketuhanan. Artinya, apapun jenis muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim harus senantiasa dalam rangka penabdian kepada Allah dan berprinsip bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan tersebut. Kedua, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai – nilai kemanusiaan dan dilakukan dengan mengetengahkan akhlak terpuji, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Ketiga, melakukan pertimbangan atas kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan masyarakat. Jika untuk memenuhi kemaslahatan bersama harus mengorbankan kemaslahatan individu, maka hal itu boleh dilakukan.
2.      Kenabian (Nubuwwah)
Kenabian (Nubuwwah) merupakan sifat yang diberikan Allah kepada manusia pilihan-Nya karena mereka memiliki keistimewaan dan kemampuan khusus yang tidak dimiliki manusia lain berupa wahyu dan mukjizat yang membuktikan kebenaran ajaran yang mereka bawa. Yang berhak memberi dan menganugerahkan kenabian kepada seseorang hanya Allah (QS. 22/al-hajj: 75, 3/Ali ‘Imran; 33, 4/an-Nisa’: 125, 20/Thaha: 13, 41, dan 42/asy-syu’ara’: 42)
Kenabian merupakan salah satu nilai dasar ekonomi Islam karena fungsi Nabi Muhammad SAW yang sentral dalam kesumberan ajaran Islam. Dalam diri Nabi bersemayam sifat-sifat luhur yang layak menjadi panutan setiap pribadi Muslim, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Kesempurnaan pribadi Rasulullah terlihat sejak muda sebelum diangkat menjadi Rasul, ia memperoleh penghormatan luar biasa karena sikap dan kejujurannya, seperti tercermin dari julukannya, al-amin (yang terpercaya).
Nabi Muhammad mempunyai sifat – sifat kemanusiaan yang sempurna seperti kejujuran, kesabaran, keberanian, kebijaksanaan, dan berbagai perilaku terpuji lain. Nilai – nilai luhur dan kepribadian sempurna itu diajarkan kepada umat Muslim agar mereka mengikuti sifat – sifat terpuji tersebut.
Nabi Muhammad adalah seorang pedagang yang dalam praktik ekonominya selalu memperhatikan hubungan harmonis antara pedangang dengan konsumen. Hal ini terlihat pada sikapnya yang tidak pernah bersitegang dengan pembeli. Semua orang yang berhubungan dengannya selalu merasa senang, puas, yakin, dan percaya akan kejujurannya. Tidak seorang pun yang melakukan transaksi bisnis dengan Nabi khawatir tertipu atau dirugikan karena Rasulullah menjunjung tinggi kejujuran dalam berbisnis.
Nilai – nilai dasar ekonomi dalam konsep nubuwwah terlihat pada sifat – sifat wajib rasul yang empat. Pertama, shiddiq (benar dan jujur), yaitu apa pun yang disampaikan Nabi adalah benar dan disampaikan  dengan jujur. Kebenaran dan kejujuran Nabi mencakup jujur dalam niat, jujur dalam maksud, jujur dalam perkataan, dan jujur dalam tindakan. Kedua, amanah (dapat dipercaya) dengan nilai dasat terpercaya dan nilai – nilai dalam berbisnis berupa adanya kepercayaan, tanggung jawab, transparan dan tepat waktu. Ketiga, fathanah (cerdas), memiliki pengetahuan luas, dan dalam bisnis memiliki visi, kepemimpinan yang cerdas, sadar produk dan jasa setra belajar berkelanjutan, keempat, tabligh (menyampaikan ajaran Islam), nilai dasar dalam bisnis adalah komunikatif, supel, mampu menjual secara cerdas, mampu mendeskripsikan tugas, mendelegasi wewenang, bekerja dalam tim, berkoordinasi, melakukan kendali, dan supervise.
3.      Pemerintahan (Khilafah)
Dalam Islam, prinsip utama dalam kehidupan umat manusia adalah Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Esa. Sementara itu, manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik (QS. at-Tin (95) 3), sesuai dengan hakikat wujud manusia sebagai khalifah dalam kehidupan dunia, yakni melaksanakan tugas kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Sang Maha Pencipta. Di muka bumi, manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Berkaitan dengan ruang lingkup tugas khalifah ini, Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang mencegah diri dari perbuatan yang munkar” (QS. al- Hajj:41)
Ayat tersebut menyatakan bahwa mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan yang baik antara manusia dengan Allah, menunai kan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, sedangkan ma'ruf berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal serta budaya, dan munkar ada lah sebalikya. Dengan demikian, sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang berhubungan baik dengan Allah, dan membina kehidupan masyarakat yang harmonis serta memelihara agama, akal, dan budaya.
Menurut M. Umer Chapra, ada empat faktor yang terkait dengan khilafah dalam hubungannya dengan ekonomi Islam, yaitu universal brotherhood (persaudaraan universal), resource are a trust (sumber daya alam merupakan amanat), humble life style (gaya hidup sederhana), dan human freedom (kemerdekaan manusia). Keempat faktor ini merupakan penyangga khilafah sebagai wahana untuk mencapai kesejahteraan kehidupan dunia dan kesejahteraan di akhirat. Persaudaraan universal yang melibatkan seluruh umat manusia karena setiap orang adalah khalifah Allah di muka bumi tanpa membedakan suku, bangsa, atau negara asal. Persaudaraan kesamaan derajad sosial (social equity) dan kehormatan umat manusia (dignity of all human beings)
4.    Keadilan ('Adl)
Nilai keadilan merupakan konsep universal yang secara khusus berarti menempatkan sesuatu pada posisi dan porsinya. Kata adil da lam hal ini bermakna tidak berbuat zalim kepada sesama manusia, bu kan berarti sama rata sama rasa 42 Dengan kata lain, maksud adil di sini adalah me-nempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh'u al-sya-i ala makanih). Walaupun, sebenarnya konsep adil bukan monopoli ekonomi Islam. Kapitalisme dan sosialisme juga memiliki konsep Bila kapitalisme mendefinisikan adil sebagai yang dapat Anda upayakan (you get what you deserved dan sosialisme mendefinisikannya sebagai others), sama rasa sama rata (no one has privelege to get more than maka Islam mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi tidak pula dizalimi.
Dalam konsep kapitalisme, jika seseorang memperlakukan orang lain sesuai dengan upaya dan jerih payahnya, maka perlakuan itu disebut adil. Keadilan terletak pada sejauhmana dan seberapa banyak orang itu berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Kekayaan merupakan cerminan hasil usaha orang kaya, sebaliknya kemiskinan juga merupakan cerminan hasil upaya orang miskin. Maka, dalam konsep kapitalisme bukan menjadi kepentingan orang kaya untuk memperhatikan orang miskin dan sesamanya, dan bukan hak orang miskin untuk meminta perhatian orang kaya. Sebaliknya, dalam konsep sosialis, kekayaan adalah hak semua orang tidak seorang pun mempunyai besar daripada yang lain. Adapun dalam konsep Islam, si kaya berhak menjadi kaya karena usahanya, selama tidak menzalimi orang lain. Di samping itu, terdapat hak orang lain dalam hasil jerih payah seseorang sehingga jika orang itu tidak mengeluarkannya, maka ia disebut tidak adil.
Dalam hal ini, pemerataan kekayaan sehingga tidak terjadi kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin harus dilakukan dalam rangka menjunjung nilai keadilan di bidang ekonomi. Konsep ini sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila terutama sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. lslam telah mengajarkan bagaimana cara mengurangi kesenjangan itu melalui konsep zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya. Karena itu. sikap adil akan mendekatkan pada nilai ketakwaan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, men dorong kamu untuk berlaku tidak adil Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS 5/al-Maidah: 8).
Menurut M. Umer Chapra, keadilan dalam bidang ekonomi menyangkut empat hal, yaitu need fulfilment (pemenuhan kebutuhan) respectable source of earning (sumber penghasilan yang terhormat) equitable distribution of income and wealth (distribusi penghasilan dan harta yang berkeadilan), dan growth and stability (perkembangan dan stabilitas)." Implikasi logis dari persaudaraan dan penggunaan sumber daya alam secara amanah, sebagaimana terlihat pada prinsip tauhid di atas, adalah bahwa sumber alam harus dimanfaatkan untuk memuaskan kebutuhan dasar setiap individu dan menempatkan setiap orang pada standar kehidupan yang manusiawi. Status manusia sebagai khalifah menghendaki agar ia memperoleh harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang benar. Manusia juga berhak menda- patkan penghasilan dan harta secara adil tanpa penindasan dan tekan an dari pihak mana pun, karena dengan keadilan itu menusia akan dapat menikmati perkembangan dan stabilitas ekonomi.
Keadilan dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian dengan meniadakan kesenjangan antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun, tentunya, Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi antar-orang perorangan. Sebagaimana  firman Allah dalam surah az-Zukhruf (43): 32:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tihanmu? Kamilah yang menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan du nia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat menggunakan seba- gian yang lain. Dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
5.    Pertanggungjawaban (Ma'ad)
Segala sesuatu yang dilakukan manusia nantinya akan dimintai pertanggungjwabannya di akhirat kelak. Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sementara, ada kehidupan sesudah kehidupan dunia ini. Karena itu, manusia hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai tujuan pokok dan segala-galanya karena di samping kehidupan dunia ada kehidupan lagi yang lebih kekal. Di sana manusia akan mendapat kebahagiaan, kesenangan, dan kesempurnaan hidup yang tak terhingga berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan. Ini bagi orang orang yang melakukan kebajikan di dunia, termasuk kebajikan dalam bisnis. Akan tetapi, bagi mereka yang suka berbuat dosa, kejahatan, manipulasi, dan kerusakan di muka bumi, dalam kehidupan kelak akan mendapatkan penderitaan, kesusahan, malapetaka, dan siksaan yang pedih dan mengerikan. Tidak ada kebahagiaan bagi mereka.
Konsep ma ad ini tidak ditemukan dalam sistem ekonomi selain Islam. Baik kapitalis maupun sosialis tidak pernah menghubungkan transaksi dan aktivitas ekonomi dengan kehidupan alam akhirat. Bagi mereka pokok segala persoalan adalah materi, benda yang terdapat di hadapan mata dan merupakan tenaga modal ataupun benda yang berupa tenaga manusia dan tenaga organisasi. Tidak tampak oleh mereka bahwa di balik materi itu (tenaga alam dan tenaga modal) terdapat hal gaib, yaitu Tuhan yang Mahakuasa. Mereka juga tidak menyadari bahwa yang materi itu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya dan segala yang terkait dengan itu akan dimintai pertanggungjwabannya.
Konsep ma’ad mengajarkan kepada manusia bahwa segala per buatan yang mereka lakukan, apa pun motifnya, akan mendapat balasan. Perbuatan baik (amal saleh) akan mendapatkan balasan yang baik pula, yaitu dalam surga dan perbuatan kejahatan akan mendapat balasan buruk dalam neraka. Dengan kata lain, terdapat reward dan dan siksa) atas segala bentuk perbuatan manusia. punishment (pahala dan siksa)atas segala bentuk perbuatan manusia. Karena itu, tidak selayaknya jika manusia melakukan aktivitas duniawi, termasuk bisnis, semata-mata untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan akibat negatif dari aktivitas itu di akhirat kelak.
Tidak selayaknya manusia hanya mementingkan kehidupan dunia, tanpa memperhatikan kehidupan jangka panjang di alam akhirat. Jika dikalkulasi dengan perhitungan bisnis, kehidupan manusia tidak hanya diukur dengan pencapaian keuntungan materiel, tetapi lebih dari itu pencaharian keuntungan di akhirat menjadi target utama sebagaimana firman Allah surah al-Qashash (28): 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (ke-bahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat di atas menjelaskan empat hal, yaitu: Pertama, mencari anu gerah Allah untuk kehidupan akhirat dengan melakukan ibadah mah- dhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Kedua, tidak melupakan kehidupan dunia, dalam arti melakukan aktivitas muamalah juga dalam rangka beribadah (ibadah ghayr mahdhah) seperti bekerja di kantor, bercocok tanam, berdagang, dan lain-lain. Ketiga, berbuat baik dengan memenuhi norma-norma etika dan tidak berlaku zalim, misalnya tidak menipu, mencuri, korupsi, merampok, dan sebagainya. Keempat, tidak berbuat kerusakan di muka bumi dengan merusak ekologi atau lingkungan alam.


















BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Demikianlah makalah ini kami buat semoga makalah ini dapat di terima dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Tidak lupa kami mengucap puji syukur kepada tuhan yang Maha Esa karena atas segala Rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik . Oleh karena itu, dengan kita mengetahui apa itu nilai-nilai dasar ekonomi Islam maka kita sudah mengetahui apa itu ekonomi Islam, hakikat ekonomi Islam, serta Hadist tentang nilai dasar ekonomi Islam itu sendiri sehingga kita dapat menerapkan nilai dasar ekonomi Islam tersebut dalam kehidupan sehari hari dan semoga kita semua menjadi hamba yang bertaqwa disisi Allah SWT . Semoga makalah ini dapat di terima oleh semua pihak karena makalah ini merupakan tahap awal kita semua dalam memulai belajar.
4.2 Saran 
Segala saran dan kritik kami harapkan dari semua pihak karena kami menyadari bahwa  makalah kami jauh dari kata sempurna. Saran dan kritik tersebut semoga saja dapat menjadi pelajaran bagi kami semua untuk dapat menjadi pelajaran bagi kami semua untuk dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya,serta makalah ini agar dapat menjadi bermanfaat bagi kita semua dan menjadi tolak ukur bagi kita semua agar memahami secara menyeluruh apa yang termuat dalam nilai-nilai dasar ekonomi Islam tersebut, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
           
DAFTAR PUSTAKA
Shaffat Idri. 2015. Hadis Ekonomi Islam: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Jakarta: KENCANA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KONVENSIONAL VS MANAJEMEN ISLAMI

ISTILAH-ISTILAH INSTRUMEN SUMBER PENERIMAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KEUANGAN PUBLIK ISLAM