MEMAHAMI PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI KHUSUNYA WAJIB (OBLIGATORY ACT)



MEMAHAMI PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI KHUSUNYA WAJIB    (OBLIGATORY ACT)
Oleh    : Al Munawir
Nim     : 1601104010001
Prodi   : Ekonomi Islam
Dosen : Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Islam merupakan agama yang sungguh luar biasa sempurnanya, karena setiap aktivitas kita telah Allaurh SWT atur dalam yang di ridhai-Nya yaitu Islam. Sehingga setiap aktivitas kita itu menggandung sebuah keberkahan dan kemaslahatan bagi kehidupan di dunia maupun akhirat. Karena setiap aktivitas kita jika diniatkan untuk meraih ridha-Nya maka itu tentunya akan menjadi nilai ibadah dimata Allah SWT.
Begitu pula yang berkaitan dengan hukum, harus dilaksanakan atau dijalankan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah Allah SWT tetapkan sebelumnya. Hukum ditinjau dari segi bahasa, maka hukum itu ialah menetapkan sesuatu atas sesuatu. Dalam hukum Islam misalnya menetapkan hukum haram atas perbuatan zina. Menurut ulama ushul fiqh, hukum ialah ketetapan syara’ atas perbuatan orang yang mukallaf, baik berupa tuntutan ataupun pilihan.
Kemudian, sebelum membahas mengenai hukum taklifi dan pembagiannya marilah kita lihat terlebih dahulu pengertian hukum syariat (hukum syara’) mengapa demikian, karena hukum taklifi ini merupakan bagian dari hukum syara’. Jadi, hukum syariat (hukum syara’) adalah firman yang ditujukan kepada orang mukallaf berupa perintah dan larangan serta wewenang memilih sesuatu perbuatan. Juga dapat diartikan, kaidah hukum yang ditentukan syariat mengenai ketentuan hukum. Syariat (syara’) dalam bahasa Arab bearti jalan yang harus ditempuh oleh seorang Muslim dalam kehidupannya, atau dengan kata lain menjadi pedoman hidup (way of life) bagi setiap orang Islam.
Sebenarnya ajaran tentang hukum Islam itu ada 5 (lima) macam yakni; wajib (obligatory act), mandud (recommended act), haram (prohibited act), makhruh (dispproved act), dan mubah (permitted act), dalam garis besarnya dinamakan Al-Ahkam Al-Khamsah (hukum yang lima).
Baiklah, dibawah ini saya akan mencoba membahas mengenai hukum taklifi dan pembagiannya, khususnya hukum taklifi yang wajib (obligatory act).
A.    Pengertian hukum taklifi
Hukum taklifi adalah ketentuan syara’ berupa tuntutan atau perintah untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf yaitu wajib, mandud, haram, makhruh, dan mubah.
B.     Wajib (obligatory act)
Perbuatan yang dituntut oleh syara’ untuk dilakukan mukallaf dengan tuntutan yang tegas. Tegas dan tidak tegasnya tuntunan dapat dilihat dari bentuk kalimat berikut:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah:2:183)

Atau bentuk perintah (amar’) dan didalamnya ayat-ayat Al-Qur’an dimana Allah SWT mengancam dengan siksa bagi orang yang meninggalkannya.
Imam Al-Qhazali menggambarkan tentang eratnya hubungan hukum dan moral didalam sistem hukum Islam.
Definisi wajib yang paling terkenal ialah setiap perbuatan diberi pahala apabila dikerjakan dan diberi siksa apabila ditinggalkan.
C.     Pembagian wajib
            Wajib terbagi menjadi empat bagian menurut ungkapan dimensi yang bermacam-macam yakni:
1.      Pembagian pertama : wajib dari segi waktu menunaikannya yakni:
Ø  Wajib yang diikat dengan waktu, yaitu wajib yang diperintahkan oleh syara’ mengerjakannya secara pasti dan pada waktu tertentu, seperti shalat fardhu yang lima dikerjakan pada waktu tertentu, sekiranya shalat itu tidak wajib dikerjakan sebelum sampai waktunya dan berdosa seseorang mukallaf jika mengakhirkan shalat itu dari waktu tertentu tersebut tanpa alasan syara’ (uzur). Kemudian seperti puasa di bulan ramadhan tidak wajib dikerjakan sebelum bulan ramadhan dan tidak pula dikerjakan sesudah bulan itu berlalu.
Ø  Wajib yang terlepas dari ikatan waktu, yaitu wajib yang diperintahkan oleh syari’ mengerjakannya secara pasti, dan syari’ tidak menentukan waktu menunaikannya, seperti membayar kafarah (denda tebusan) yang wajib atas orang yang sumpah dan melanggar, maka tidaklah untuk mengerjakan ini ada waktu tertentu. Maka jika pelanggar hendak kufur, dia bisa kufur setelah melanggar secara langsung, dan jika berkehendak, dia bisa kufur setelah itu. Kemudian seperti haji yang diwajibkan atas orang yang mampu, dan tidaklah menunaikan kewajiban itu ada tahun tertentu, artinya     mengerjakannya tidak terikat oleh waktu bisa dilakukan di setiap tahunnya bila ada kesanggupan.
2.      Pembagian ke dua: wajib dari segi perintah melaksanakannya yakni:
Ø  Wajib ‘Aini (wajib ‘ain) adalah kewajiban yang diperintahkan syari’ untuk dikerjakan  atau dilaksanakan oleh setiap masing-masing mukallaf dan kewajiban itu tidak bisa digantikan oleh orang lain, seperti shalat, zakat, haji, menunaikan akad dan menghindari khamar dan judi.
Ø  Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah kewajiban yang di perintahkan syari’ untuk dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan masing-masing individu diantara mukallaf, bukan dari masing-masing perorangan diantara mereka, sekiranya apabila sebagian mukallaf melaksanakan kewajiban itu, maka sudah telepas kewajiban tersebut, dan gugurlah dosa serta beban orang-orang lainnya, dan apabila tidak dikerjakan oleh sebagian mukallaf tadi, maka semua berdosa, sebab mengabaikan kewajiban ini, seperti perintah-peritah kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang perbuatan mungkar, seperti mengurusi mayit, membangun rumah sakit, dan membangun pabrik-pabrik untuk produksi yang dibutuhkan oleh masyrakat pada umumnya.
3.      Pembagian ke tiga: wajib dari segi ukuran yang diperintahkan yakni:
Ø  Wajib muhaddab (ukuran yang dibatasi) adalah wajib yang oleh syari’ telah ditentukan   kepadanya, ukurannya sudah diketahui, sekira tidak menjadi beban tanggungan mukallaf dari keawajiban itu kecuali apabila dia melaksanakan kewajiban itu menurut aturan yang ditentukan oleh syari’. Seperti shalat lima waktu, contoh shalat shubuh dilaksanakan atau dikerjakan dari terbit fajar hingga terbitnya matahari. Kemudian begitu juga dengan zakat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, adalah membebani tanggungan kepada mukallaf sampai zakat tersebut dikeluarkan menurut kadar ukurannya kepada orang-orang yang berhak menerima zakat.
Ø  Wajib ghairu muhaddab (ukuran yang tidak dibatasi) adalah wajib yang oleh syari’ tidak menentukan ukurannya, tetapi menuntut wajib harus dikerjakan oleh mukallaf tanpa batas, seperti bersedekah di jalan Allah SWT, tolong-menolong dalam kebaikan, memberi makan dan minum kepada orang yang lapar, serta menolong orang dalam kesulitan.
4.      Pembagian ke empat: wajib dari segi objek perbuatannya yakni:
Ø  Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ dengan sendirinya, seperti shalat, puasa, harga suatu yang dibeli, ongkos sesuatu yang disewa    dan mengembalikan sesuatu yang dipakai tanpa izin yang punya. Tanggungan mukallaf tidak akan bebas kecuali dengan melaksanakan kewajiban itu dengan sendirinya.
Ø  Wajib mukhayyar (diperintah memilih) adalah kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ kepada salah satu diantara beberapa kafarah (denda tebusan), maka sesungguhnya Allah SWT telah mengharuskan kepada orang yang melanggar sumpahnya agar memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepadanya, atau memerdekakan budak, maka yang wajib adalah satu diantara tiga hal tersebut. Sedangkan perintah memilih bagi mukallaf adalah dalam menentukan salah satu dalam pelaksanaannya, dan tanggungan wajibnya jadi bebas setelah melaksanakan salah satu diantaranya.

Daftar Pustaka
1.      Drs.H.M.Yusran Asmani, Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadist Fiqh dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001). hlm. 89.
2.      Drs.Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). hlm. 35-36.
3.      Mohd Idris Ramulyo, SH.,M.H., Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). hlm. 16.
4.       Drs.H.M.Yusran Asmani, op.cit, hlm. 89.
5.      Prof.Drs.H.A.Dzazuli, Dr. I. Nurol Aen, M.A., Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000). hlm. 19-20.
6.      Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002). hlm. 159-167.


            










Komentar

  1. How do I make money from online betting with virtual money?
    When you use virtual 샌즈카지노 money, you can start gambling with real money betting on หารายได้เสริม football, tennis, cricket, and the NFL. febcasino But there's nothing better than being

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM

MANAJEMEN KONVENSIONAL VS MANAJEMEN ISLAMI

ISTILAH-ISTILAH INSTRUMEN SUMBER PENERIMAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KEUANGAN PUBLIK ISLAM