MANAJEMEN KONVENSIONAL VS MANAJEMEN ISLAMI



Islam merupakan agama yang sungguh luar biasa sempurnanya, karena  setiap aktivitas kita telah Allah SWT atur dalam agama yang di ridhoi-Nya yaitu Islam. Sehingga setiap aktivitas kita itu mengandung sebuah keberkahan dan kemashlahatan bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat, karena setiap aktivitas kita jika diniatkan untuk meraih ridho-Nya maka itu tentunya akan menjadi nilai ibadah dimata Allah SWT. Begitu pun dalam aktivitas ekonomi, setiap aktivitas ekonomi jika kita laksanakan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan maka itu akan mejadi nilai ibadah pula bagi kita, itu lah uniknya ekonomi Islam dan khususnya manajaemen Islam, kita akan senantiasa mendapatkan dua kebaikan dalam setiap aktivitas kita yaitu kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.
Salah satu pilar dalam sistem ekonomi yakni manajemen, manajemen menurut G.R. Terry mengartikan manajemen suatu proses khas terdiri tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengontrolan yang dilakukan dalam menentukan serta mencapai target, yang sudah ditetapkan lewat pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya.
Semua orang telah mengetahui bahwa prinsip-prinsip ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya selalu mengagungkan perolehan hasil sebesar-besarnya dengan kerja sekecil-kecilya. Prinsip konvensional ini berkembang pesat di dunia Barat. Islam tidak menentang prinsip konvensional ini bahkan mendorong prinsip itu. Masalahnya adalah manajemen syariah hanya menambahkan rambu-rambu penerapan prinsip konvensional agar tidak hanya ditujukan untuk memperoleh hasil di dunia saja melainkan harus dibarengi dengan memperoleh hasil di akhirat. Adanya rambu-rambu ini diharapkan para pelaku ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya mempunyai rem yang cukup pakem untuk tidak merugikan orang lain.
Untuk memahami manajemen syariah ini harus terlebih dahulu mengetahui pandangan Islam tentang harta dan dasar-dasar sistem ekonominya. Diterangkan dalam AI-Quran bahwa harta adalah sebuah objek yang digunakan menguji manusia dan harta juga sebuah sarana untuk melaksanakan taqwa. Selain itu diperingatkan pula bahwa harta dapat membawa mala petaka bagi manusia di akhirat nanti bila salah menyikapinya. Ada dua pandangan Islam dalam melihat harta; sebagai suatu hak atau kepemilikan sesama manusia, Islam sangat menghargainya sedang dalam hubungan manusia terhadap tuhannya, manusia tidak mempunyai hak sama sekali.
Bertolak dari dasar-dasar tersebut diatas maka semua yang dilakukan dalam manajemen islami yang dititik beratkan pada bidang ekonomi tidak akan lepas dari kehati-hatian dalam menyikapi harta. Maka penerapan manajemen islami secara utuh tidak akan membuat orang saling menindas dalam menjalankan roda perekonomian. Semua orang akan merasa diuntungkan karenanya.
Meski semua ekonom mengenal Adam Smith dan buku Wealth of Nations-nya, hanya segelintir yang membacanya dengan teliti. Dalam buku itu, Adam Smith mengutip laporan perjalanan Doktor Pocock yang menjelaskan rahasia kesuksesan para pedagang Arab. Keberhasilan mereka, tulis Smith, terletak pada keramahan dan kemurahan hatinya. Tepatnya, ia menulis, “Ketika mereka memasuki sebuah kota, mereka mengundang orang-orang di jalan, baik kaya maupun miskin, untuk makan bersama dengan duduk bersila. Mereka memulai makan dengan mengucapkan bismillah dan mengakhirinya dengan ucapan hamdallah.” (Adam Smith, Wealth of Nation [Oxford University Press, 1933] halaman 261, 541).
Ratusan tahun kemudian, umat Islam seakan meninggalkan konsep manajemen yang telah membuat dunia terkesima ini. Syukurlah, belakangan ini sejumlah mujtahid Islam mulai menggali kembali khazanah keilmuan ini. Paling tidak, ada empat buku yang membahas manajemen islami secara komprehensif, Al-Idarah fi al-Islam (Abu Sin, 1986), Islam and Management (Naceur Jabnoun, 1994), dan islamic Values and management (al-Habshi dan al-Ghazali, 1994) serta puluhan makalah yang membahas aspek manajemen tertentu.
Namanya saja ijtihad, apalagi untuk ilmu yang baru digali kembali, para penulis mempunyai metodologi yang berbeda dalam menjelaskan manajemen Islam. Abu Sin, misalnya, mengkritik aliran-aliran manajemen konvensional mulai dari aliran scientific management, aliran bureaucratic, aliran human relations, aliran behavioral, dan aliran pendekatan sistem. Pernahkan melihat para pekerja yang tadinya sangat berpotensi menjadi mati kutu setelah bekerja dalam suatu organisasi? Bahkan banyak di antara mereka menjadi pekerja yang paranoid (sakit jiwa). Mengapa? Abu Sin beragumen karena organisasi tempat mereka bekerja tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan material dan kebutuhan psikologis, padahal mereka mampu.
Organisasi menjadi tempat pemasungan kreativitas dan potensi. Pernah jalan-jalan ke sekolah gajah Way Kambas? Lihatlah bagaimana gajah-gajah yang penuh kekuatan dan dinamika itu dihilangkan naluri gajahnya dengan teknik klasikal dan operant conditioning. Pekerja yang penuh potensi pun dapat dihilangkan gairah bekerja dengan segala kreativitasnya dan sekedar menjadi Pak Turut yang selalu mohon arahan dan petunjuk.
Menurut Abu Sin, scientific management hanya menekankan pada pentingnya efisiensi dan kompensasi ekonomis sebagai insentif utama bagi pekerja, padahal efisiensi menjadi kontraproduktif bila pekerja merasa diperlukan seperti robot dan berapa pun besarnya kompensasi ekonomis akan terasa kurang bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi. Bahkan, konsep ini akan menimbulkan pertentangan yang tidak akan habisnya antara pekerja rendahan dengan manajemen atas. Khususnya bila efisiensi hanya diterapkan pada bawahan, sedangkan atasan berkelimpahan. Pekerja yang tidak dimotivasi dengan uang akan selalu menuntut kenaikan gaji dan perbaikan fasilitas di satu sisi, sedangkan manajemen selalu efisiensi. Sebaliknya, aliaran humanistic yang merupakan reaksi terhadap aliran scientific hanya menekankan pada sisi kemanusiaan dan mengesampingkan pentingnya kompensasi ekonomis dan otoritas formal organisasi.
Kemudian marilah kita lihat, apa yang disebut manajemen islami. Untuk dapat dikategorikan manajemen islami dalam rumusan Abu Sin, empat hal harus terpenuhi. Pertama, manajemen islami harus didasari nilai-nilai dan akhlak islami. Etika bisnis islami yang ditawarkan Salafy dan Salam berlaku universal tanpa mengenal ras dan agama. Boleh saja berbisnis dengan label Islam dengan segala atributnya, namun bila nilai-nilai dan akhlak berbisnis ditinggalkan, cepat atau lambat bisnisnya akan hancur. Bukankah pepatah mengatakan, “Anda dapat membodohi semua orang dalam suatu saat atau membodohi satu orang dalam semua saat, tapi Anda tidak dapat membodohi semua orang dalam semua saat.”
Kedua, kompensasi ekonomis dan penekanan terpenuhinya kebutuhan dasar pekerja. Cukuplah menjadi suatu kezaliman bila perusahaan memanipulasi semengat jihad seorang pekerja dengan menahan haknya, kemudian menghiburnya dengan iming-iming pahala yang besar. Urusan pahala, Allah SWT yang mengatur. Urusan kompensasi ekonomis, kewajiban perusahaan membayarnya.
Ketiga, faktor kemanusiaan dan spiritual sama pentingnya dengan kompensasi ekonomis. Pekerja diperlakukan dengan hormat dan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Tingkat partisipatif pekerja tergantung pada intelektual dan kematangan psikologisnya. Bila hak-hak ekonomisnya tidak ditahan, pekerja dengan semangat jihad akan mau dan mampu melaksanakan tugasnya jauh melebihi kewajibannya.
Keempat, sistem dan struktur organisasi sama pentingnya. Kedekatan atasan dan bawahan dalam ukhuwah islamiyah, tidak bearti menghilangkan otoritas formal dan ketaatan pada atasan selama tidak bersangkut dosa.
Setelah kita menelusuri secara singkat tentang sistem manajemen konvensional vs manajemen islami, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya manajemen itu sudah ada ketika manusia sudah lahir ke dunia ini, dan tidak terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari didalam mengatur hidupnya. Adapun tuntunan dan acuan manajemen didalam Islam ialah berpegang teguh kepada Al-quran dan Hadis. Allah SWT mengutus Muhammad SAW sebagai salah seorang yang sangat ahli didalam bidang manajemen baik itu agama, politik, sosial maupun ekonomi, beliau adalah pemimpin yang wajib dicontoh dan diteladani oleh seluruh umat Islam.
Referensi
“ Karim A. Adiwarman, didalam bukunya: Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM

ISTILAH-ISTILAH INSTRUMEN SUMBER PENERIMAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KEUANGAN PUBLIK ISLAM