NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM



Image result for GAMBAR nilai-nilai dasar dalam ekonomi Islam



Al Munawir
Ekonomi Islam, Universitas Syiah Kuala

Islam merupakan agama yang sangat sempurna, setiap kegiatan kita didunia ini sudah diatur dengan sedemikian rupa baik dan teraturnya sehingga membuat hati kita tenang didalam menjalankan aktivitas kita sehari-hari. Begitu juga dengan kita didalam bermuamalah sudah pasti kita sudah diajarankan bagaimana memperhatikan nilai-nilai dasar dalam bermuamalah sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT serta diberikan contoh Rasulullah SAW didalam menjalankan aplikasinya didunia ini, sehingga menjadi berkah baik didunia maupun akhirat.
            Sebagaimana kita ketahui bahwa, nilai-nilai dasar ekonomi Islam berbeda dengan nilai dasar ekonomi kapitalis dan sosialis. Ekonomi kapitalis berdasar pada laisez-faire (kebebasan mutlak) sebagai ideology dasarnya. Nilai dasar tersebut kemudian membentuk nilai-nilai dasare masyarakat kapitalis yang berupa kepimilikan pribadi, motif mencari laba, dan persaingan bebas. Pada masa modern, nilai dasar ekonomi kapitalis yang dikembangkan adalah penumoukan modal, penciptaan kekayaan, ekspansi. Nilai dasar ekonomi kapitlais didasarkan pada pandangan Adam Smith. Sedangkan ekonomi sosialis didasarkan pada konsep sosialisme Karl Marx sebagai antitetis dari konsep kapitalisme yang menyatakan bahwa produksi yang berlebihan,tingkat konsumsi yang rendah, disproporsi, eksploitasi, dan alineasi yang dialami kaum buruh dapat menciptakan suatu kondisi yang memaksa terjadinya revolusi social untuk menumbangkan kapitalis. Nilai dasar ekonomi sosialis yang membatasi kepemilikan pribadi yang sangat ketat dapat melanggar hak asasi dan dapat menghalangi terjadinya kreativitas dan produktivitas yang sehat.
            Berbeda dengan ekonomi Islam yang dimana sejak awal merupakan formulasi yang didasarkan atas pandangan Islam tentang hidup dan kehidupan yang mencakup segala hal yang diperlukan untuk merealisasikan keberuntukan dan kehidupan yang baik dalam binhkai aturan syariah yang menyangkut pemeliharaan keyakinan, jiwa atau kehidupan, akal atau pikiran, keturunan dan harta kekayaan.
            Ekonomi Islam didasarkan pada nilai-nilai luhur yang ditemukan dalam sumber-sumber ajaran islam seperti ayat-ayat Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan qiyas. Dari sumber ini, kita bisa memperoleh nilai-nilai dasar ekonomi Islam, termasu nilai-nilai moralitas seperti menyeru manusia kepada kebenaran dan kebaikan, kesabaran dan akhlak, serta mencegah mereka dari kepalsuan dan kemungkaran. Demikian pula, Islam menyuruh mereka membantu orang miskin dan mekarang  mereka berbuat zalim, melanggar hak orang lain dan menumpukkan harta secara tidak halal.
            Dikalangan ilmuwan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang nilai-nilai dasar itu, meskipun sesungguhnya mereka mengarah pada muara yang sama. Menurut Adiwarman Karim ada lima dasar ekonomi Islam, yaitu keimanan, keadilan, kenabian, pemerintahan dan kembali/hasil. Kelima nilai dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi Islam. Menurut kurshid Ahamad, niali-nilai dasar ekonomi Islam dan sekaligus sebagai landasan filosofis untuk pengembangan ekonomi Islam adalah tauhid, khilafah, dan tazkiyyah. Baiklah penulis disini akan memaparkan mengenai nilai-nilai yang dasar yang terkandung dalam sistem ekonomi Islam sebagai berikut:
1.    Ketuhanan (Keimanan/Tauhid)
Konsep ketuhanan atau tauhid, dalam ajaran Islam ada dua, yaitu tauhid rububiyyah dan tuhid uluhiyyah. Tauhid rububiyyah berkenaan dengan Allah sebagai Tuhan, pencipta, dan pengatur alam semesta. Kata rububiyyah berasal dari kata rabb yang berarti menciptakan, memelihara, dan mengatur. Kata rabb, sesuai makna linguistic Arab, lebih mengarah pada makna kepemilikan dan penguasaan sehingga tauhin rububiyyah  diartikan sebagai kepercayaan tentang keesaan Tuhan dalam hal sebagai pencipta, pemilik dan penguasa alam. Menurut Muhammad Syahryr, tauhin rububiyyah merupakan realitas objektif di luar kesadaran manusia, relasi antara Allah dan seluruh makhluk-nya berupa relasi penguasaan, pengaturan, dan pemilikan, sebuah relasi paten dan tidak akan pernah berubah.
Alam semesta diciptakan oleh Allah dan bukan ada dengan sendirinya. Allah-lah yang menciptakan dan mengatur segala yang ada di langit dan di bumi, yang diperuntukkan bagi kehidupan umat manusia.
Sebagai bentuk dan manifestasi rasa syukur atas segala karunia Allah yang diberikan kepada manusia yang ada di muka bumi, maka manusia melakukan peribadatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, Allah sang pencipta dan pengatur alam semesta adalahsatu – satunya tuhan yang disembah sebagai wujud terima kasih manusia atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Konsep inilah yang dikenal dengan tauhid uluhiyyah yang berarti mengesakan Allah, tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya. Tauhid uluhiyyah berkenaan dengan kewajiban manusia untuk menyembah hanya kepada Allah sebagaimana dimaksudkan dalam surah al-dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku”.
Baik tauhid uluhiyyah maupun tauhid rububiyyah yang menjadi fondasi keberagaman umat Islam telah berpengaruh terhadap setiap sendi-sendi kehidupan mereka; dibidang ibadah, akhlak, social, politik, budaya, hukum, termasuk juga bidang ekonomi. John L. Esposito menyatakan bahwa monoteisme Islam yang mutlak dijaga dalam doktrin keesaan (tawhid) dan kedaulatan (rabb, penguasaan, pengasuh) Tuhan yang mendominasi akidah dan praktik Islam.
Nilai dasar ekonomi yang berfalsafah tauhid terlihat antara lain pada konsep kepemilikan (ownership) dan keseimbangan (equilibrium). Konsepkepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam terletak pada pemanfaatannya bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber – sumber ekonomi, berbeda dengan konsep kapitalis di mana terdapat kepemilikan mutlak individu terhadap sumber ekonomi.
Manusia hanya memiliki hak manfaat dari sumber – sumber ekonomi. Menurut Islam, harta tidak lebih dari sekedar karunia Allah yang dititipkan kepada manusia. Manusia hanyalah makhluk yang menjadi pengelola harta tersebut dan  bukan memilikinya secara penuh. Pada harta titipan tersebut ada hak orang lain yang harus diberikan. Harta tidak lebih dari ujian apakah pemilik nya dapat mensyukuri atau tidak.
Kepemilikan tersebut terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia dan bila orang itu meninggal dunia, maka harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan islam.
Nilai – nilai dasar ekonomi Islam yang berkaitan dengan kepemilikan dan aktivitas ekonomi adalah: pertama, kebebasan individu, yaitu setiap individu mempunyai kebebasan untuk membuat keputusan yang dianggap perlu karna tanpa kebebasan, individu Muslim tidak dapat memenuhi kewajiban agama dan Negara, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi demi kesejahteraan pribadi dan keluarga nya asalkan tidak merugikan orang lain. Kedua, ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar. Islam mengakui ketidaksamaan ekonomi antar per orang, namun tidak membiarkannya menjadi bertambah luas melainkan berusaha agar kesenjangan itu dalam batas yang wajar. Ketiga, kesamaan social. Islam mengakui adanya ketidaksamaan dalam bidang ekonomi tetapi mendukung adanya kesamaan social sehingga kekayaan Negara tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu. Keempat, adanya jaminan social. Menurut Islam, setiap individu mempunyai hak hidup dan setiap warga Negara dijamin mendapatkan kebutuhan pokoknya. Kelima, distribusi kekayaan secara meluas. System ekonomi Islam melarang penumpukan harta kekayaan pada kelompok kecil tertentu melainkan harus didistribusikan secara luas kepada orang – orang yang berhak menerimanya. Keenam, larangan menimbun harta kekayaan. Islam mencegah praktik penimbunan kekayaan atau komoditas dengan maksud agar tidak terjadi kelangkaan barang dan menghindari kenaikannya untuk kepentingan pribadi pemilikinya. Ketujuh, adanya kesejahteraan bersma. Islam mengakui kesejahteraan individu dan masyarakat secara bersama dan saling melengkapi bukan salingg bertentangan antar keduanya.
Sumber daya alam dan kekayaan merupakan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya dan manusia bukanlah pemilik mutlak sumber daya alam dan kekayaan itu. Karena itu, sumber daya alam harus diberlakukan sebagai berikut: (1) sumber daya alam digunakan untuk kepentingan seluruh umat manusia bukan untuk sebagiannya saja; (2) setiap orang harus mendapatkan sumber daya alam secara benar sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi; (3) harta kekayaan yang telah diperoleh bukan di dalamnya; dan (4) tak seorang pun berhak untuk merusak atau membuang sumber daya alam yang telah diberikan tuhan.
Konsep keseimbangan (equilibrium) terlihat dalam berbagai aspek dan perilaku ekonomi, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimory), dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini tidak hanya berkenaan dengan timbangan kebaikan hasil usaha manusia yang diarahkan untuk dunia dan akhirat, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan perorangan dan kepentingan umum yang harus dipelihara, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dengan demikian, dalam melakukan aktivitas ekonomi yang berdarah pada konsep tauhid, umat Islam hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai – nilai ketuhanan. Artinya, apapun jenis muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim harus senantiasa dalam rangka penabdian kepada Allah dan berprinsip bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan tersebut. Kedua, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai – nilai kemanusiaan dan dilakukan dengan mengetengahkan akhlak terpuji, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Ketiga, melakukan pertimbangan atas kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan masyarakat. Jika untuk memenuhi kemaslahatan bersama harus mengorbankan kemaslahatan individu, maka hal itu boleh dilakukan.
2.    Kenabian (Nubuwwah)
Kenabian (Nubuwwah) merupakan sifat yang diberikan Allah kepada manusia pilihan-Nya karena mereka memiliki keistimewaan dan kemampuan khusus yang tidak dimiliki manusia lain berupa wahyu dan mukjizat yang membuktikan kebenaran ajaran yang mereka bawa. Yang berhak memberi dan menganugerahkan kenabian kepada seseorang hanya Allah (QS. al-Hajj: 75, Ali ‘Imran; 33, an-Nisa’: 125, Taha: 13, 41, dan asy-Syu’ara’: 42).
Kenabian merupakan salah satu nilai dasar ekonomi Islam karena fungsi Nabi Muhammad SAW yang sentral dalam kesumberan ajaran Islam. Dalam diri Nabi bersemayam sifat-sifat luhur yang layak menjadi panutan setiap pribadi Muslim, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Kesempurnaan pribadi Rasulullah terlihat sejak muda sebelum diangkat menjadi Rasul, ia memperoleh penghormatan luar biasa karena sikap dan kejujurannya, seperti tercermin dari julukannya, al-amin (yang terpercaya).
Nabi Muhammad mempunyai sifat – sifat kemanusiaan yang sempurna seperti kejujuran, kesabaran, keberanian, kebijaksanaan, dan berbagai perilaku terpuji lain. Nilai – nilai luhur dan kepribadian sempurna itu diajarkan kepada umat Muslim agar mereka mengikuti sifat – sifat terpuji tersebut.
Nabi Muhammad adalah seorang pedagang yang dalam praktik ekonominya selalu memperhatikan hubungan harmonis antara pedangang dengan konsumen. Hal ini terlihat pada sikapnya yang tidak pernah bersitegang dengan pembeli. Semua orang yang berhubungan dengannya selalu merasa senang, puas, yakin, dan percaya akan kejujurannya. Tidak seorang pun yang melakukan transaksi bisnis dengan Nabi khawatir tertipu atau dirugikan karena Rasulullah menjunjung tinggi kejujuran dalam berbisnis.
Nilai – nilai dasar ekonomi dalam konsep nubuwwah terlihat pada sifat – sifat wajib rasul yang empat. Pertama, shiddiq (benar dan jujur), yaitu apa pun yang disampaikan Nabi adalah benar dan disampaikan  dengan jujur. Kebenaran dan kejujuran Nabi mencakup jujur dalam niat, jujur dalam maksud, jujur dalam perkataan, dan jujur dalam tindakan. Kedua, amanah (dapat dipercaya) dengan nilai dasat terpercaya dan nilai – nilai dalam berbisnis berupa adanya kepercayaan, tanggung jawab, transparan dan tepat waktu. Ketiga, fathanah (cerdas), memiliki pengetahuan luas, dan dalam bisnis memiliki visi, kepemimpinan yang cerdas, sadar produk dan jasa setra belajar berkelanjutan, keempat, tabligh (menyampaikan ajaran Islam), nilai dasar dalam bisnis adalah komunikatif, supel, mampu menjual secara cerdas, mampu mendeskripsikan tugas, mendelegasi wewenang, bekerja dalam tim, berkoordinasi, melakukan kendali, dan supervise.
3.    Pemerintahan (Khilafah)
Dalam Islam, prinsip utama dalam kehidupan umat manusia adalah Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Esa. Sementara itu, manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik (QS. at-Tin (95) 3), sesuai dengan hakikat wujud manusia sebagai khalifah dalam kehidupan dunia, yakni melaksanakan tugas kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Sang Maha Pencipta. Di muka bumi, manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Berkaitan dengan ruang lingkup tugas khalifah ini, Allah SWT berfirman:
Image result for GAMBAR QS. al- Hajj:41
 “Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang mencegah diri dari perbuatan yang munkar” (QS. al- Hajj:41)
Ayat tersebut menyatakan bahwa mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan yang baik antara manusia dengan Allah, menunai kan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, sedangkan ma'ruf berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal serta budaya, dan munkar ada lah sebalikya. Dengan demikian, sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang berhubungan baik dengan Allah, dan membina kehidupan masyarakat yang harmonis serta memelihara agama, akal, dan budaya.
Menurut M. Umer Chapra, ada empat faktor yang terkait dengan khilafah dalam hubungannya dengan ekonomi Islam, yaitu universal brotherhood (persaudaraan universal), resource are a trust (sumber daya alam merupakan amanat), humble life style (gaya hidup sederhana), dan human freedom (kemerdekaan manusia). Keempat faktor ini merupakan penyangga khilafah sebagai wahana untuk mencapai kesejahteraan kehidupan dunia dan kesejahteraan di akhirat. Persaudaraan universal yang melibatkan seluruh umat manusia karena setiap orang adalah khalifah Allah di muka bumi tanpa membedakan suku, bangsa, atau negara asal. Persaudaraan kesamaan derajad sosial (social equity) dan kehormatan umat manusia (dignity of all human beings)
4.    Keadilan ('Adl)
Nilai keadilan merupakan konsep universal yang secara khusus berarti menempatkan sesuatu pada posisi dan porsinya. Kata adil da lam hal ini bermakna tidak berbuat zalim kepada sesama manusia, bukan berarti sama rata sama rasa 42 Dengan kata lain, maksud adil di sini adalah me-nempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh'u al-sya-i ala makanih). Walaupun, sebenarnya konsep adil bukan monopoli ekonomi Islam. Kapitalisme dan sosialisme juga memiliki konsep Bila kapitalisme mendefinisikan adil sebagai yang dapat Anda upayakan (you get what you deserved dan sosialisme mendefinisikannya sebagai others), sama rasa sama rata (no one has privelege to get more than maka Islam mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi tidak pula dizalimi.
Dalam konsep kapitalisme, jika seseorang memperlakukan orang lain sesuai dengan upaya dan jerih payahnya, maka perlakuan itu disebut adil. Keadilan terletak pada sejauhmana dan seberapa banyak orang itu berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Kekayaan merupakan cerminan hasil usaha orang kaya, sebaliknya kemiskinan juga merupakan cerminan hasil upaya orang miskin. Maka, dalam konsep kapitalisme bukan menjadi kepentingan orang kaya untuk memperhatikan orang miskin dan sesamanya, dan bukan hak orang miskin untuk meminta perhatian orang kaya. Sebaliknya, dalam konsep sosialis, kekayaan adalah hak semua orang tidak seorang pun mempunyai besar daripada yang lain. Adapun dalam konsep Islam, si kaya berhak menjadi kaya karena usahanya, selama tidak menzalimi orang lain. Di samping itu, terdapat hak orang lain dalam hasil jerih payah seseorang sehingga jika orang itu tidak mengeluarkannya, maka ia disebut tidak adil.
Dalam hal ini, pemerataan kekayaan sehingga tidak terjadi kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin harus dilakukan dalam rangka menjunjung nilai keadilan di bidang ekonomi. Konsep ini sejalan dengan sistem ekonomi Pancasila terutama sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. lslam telah mengajarkan bagaimana cara mengurangi kesenjangan itu melalui konsep zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya. Karena itu. sikap adil akan mendekatkan pada nilai ketakwaan. Allah berfirman:
Image result for GAMBAR surat al-Maidah: 8
 “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, men dorong kamu untuk berlaku tidak adil Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS al-Maidah: 8).
Menurut M. Umer Chapra, keadilan dalam bidang ekonomi menyangkut empat hal, yaitu need fulfilment (pemenuhan kebutuhan) respectable source of earning (sumber penghasilan yang terhormat) equitable distribution of income and wealth (distribusi penghasilan dan harta yang berkeadilan), dan growth and stability (perkembangan dan stabilitas)." Implikasi logis dari persaudaraan dan penggunaan sumber daya alam secara amanah, sebagaimana terlihat pada prinsip tauhid di atas, adalah bahwa sumber alam harus dimanfaatkan untuk memuaskan kebutuhan dasar setiap individu dan menempatkan setiap orang pada standar kehidupan yang manusiawi. Status manusia sebagai khalifah menghendaki agar ia memperoleh harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang benar. Manusia juga berhak menda- patkan penghasilan dan harta secara adil tanpa penindasan dan tekan an dari pihak mana pun, karena dengan keadilan itu menusia akan dapat menikmati perkembangan dan stabilitas ekonomi.
Keadilan dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian dengan meniadakan kesenjangan antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun, tentunya, Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi antar-orang perorangan. Sebagaimana  firman Allah dalam surah az-Zukhruf (43): 32:
Image result for GAMBAR az-Zukhruf (43): 32 
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tihanmu? Kamilah yang menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan du nia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat menggunakan seba- gian yang lain. Dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
5.    Pertanggungjawaban (Ma'ad)
Segala sesuatu yang dilakukan manusia nantinya akan dimintai pertanggungjwabannya di akhirat kelak. Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sementara, ada kehidupan sesudah kehidupan dunia ini. Karena itu, manusia hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai tujuan pokok dan segala-galanya karena di samping kehidupan dunia ada kehidupan lagi yang lebih kekal. Di sana manusia akan mendapat kebahagiaan, kesenangan, dan kesempurnaan hidup yang tak terhingga berbeda dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan. Ini bagi orang orang yang melakukan kebajikan di dunia, termasuk kebajikan dalam bisnis. Akan tetapi, bagi mereka yang suka berbuat dosa, kejahatan, manipulasi, dan kerusakan di muka bumi, dalam kehidupan kelak akan mendapatkan penderitaan, kesusahan, malapetaka, dan siksaan yang pedih dan mengerikan. Tidak ada kebahagiaan bagi mereka.
Konsep ma’ad ini tidak ditemukan dalam sistem ekonomi selain Islam. Baik kapitalis maupun sosialis tidak pernah menghubungkan transaksi dan aktivitas ekonomi dengan kehidupan alam akhirat. Bagi mereka pokok segala persoalan adalah materi, benda yang terdapat di hadapan mata dan merupakan tenaga modal ataupun benda yang berupa tenaga manusia dan tenaga organisasi. Tidak tampak oleh mereka bahwa di balik materi itu (tenaga alam dan tenaga modal) terdapat hal gaib, yaitu Tuhan yang Mahakuasa. Mereka juga tidak menyadari bahwa yang materi itu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya dan segala yang terkait dengan itu akan dimintai pertanggungjwabannya.
Konsep ma’ad mengajarkan kepada manusia bahwa segala per buatan yang mereka lakukan, apa pun motifnya, akan mendapat balasan. Perbuatan baik (amal saleh) akan mendapatkan balasan yang baik pula, yaitu dalam surga dan perbuatan kejahatan akan mendapat balasan buruk dalam neraka. Dengan kata lain, terdapat reward dan dan siksa) atas segala bentuk perbuatan manusia. punishment (pahala dan siksa) atas segala bentuk perbuatan manusia. Karena itu, tidak selayaknya jika manusia melakukan aktivitas duniawi, termasuk bisnis, semata-mata untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan akibat negatif dari aktivitas itu di akhirat kelak.
Tidak selayaknya manusia hanya mementingkan kehidupan dunia, tanpa memperhatikan kehidupan jangka panjang di alam akhirat. Jika dikalkulasi dengan perhitungan bisnis, kehidupan manusia tidak hanya diukur dengan pencapaian keuntungan materiel, tetapi lebih dari itu pencaharian keuntungan di akhirat menjadi target utama sebagaimana firman Allah surah al-Qashash (28): 77:
Image result for GAMBAR al-Qashash (28): 77
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (ke-bahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat di atas menjelaskan empat hal, yaitu: Pertama, mencari anu gerah Allah untuk kehidupan akhirat dengan melakukan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Kedua, tidak melupakan kehidupan dunia, dalam arti melakukan aktivitas muamalah juga dalam rangka beribadah (ibadah ghayr mahdhah) seperti bekerja di kantor, bercocok tanam, berdagang, dan lain-lain. Ketiga, berbuat baik dengan memenuhi norma-norma etika dan tidak berlaku zalim, misalnya tidak menipu, mencuri, korupsi, merampok, dan sebagainya. Keempat, tidak berbuat kerusakan di muka bumi dengan merusak ekologi atau lingkungan alam.
Demikianlah karya tulis ini penulis buat semoga penulisan ini dapat di terima dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Tidak lupa kami mengucap puji syukur kepada tuhan yang Maha Esa karena atas segala Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikannya dengan baik . Oleh karena itu, dengan kita mengetahui apa itu nilai-nilai dasar ekonomi Islam maka kita sudah mengetahui nilai dasar ekonomi Islam itu sendiri sehingga kita dapat menerapkan nilai dasar ekonomi Islam tersebut dalam kehidupan sehari hari dan semoga kita semua menjadi hamba yang bertaqwa disisi Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Shaffat Idri. 2015. Hadis Ekonomi Islam: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi. Jakarta: KENCANA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM

MANAJEMEN KONVENSIONAL VS MANAJEMEN ISLAMI

ISTILAH-ISTILAH INSTRUMEN SUMBER PENERIMAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KEUANGAN PUBLIK ISLAM